Inspirasi

Diam Berkesan

0
(0)

“Ayah, aku menangis karena batu penggiling ini, dan aku menangisi kesibukanku yang silih berganti. Ayah tolong sampaikan pada suamiku, Ali bin Abi Thalib RA agar ia mencarikan seseorang yang membantu pekerjaanku.” Fatimah mencurahkan gundah hatinya, ketika sang ayah bertanya apa gerangan yang membuatnya ia bersedih. Sang ayah, Rasulullah ﷺ baru saja berkunjung ke rumah syahidah Fatimah Az Zahra dan mendapatinya tengah menangis di dekat penggilingan batu.

Rasulullah ﷺ terdiam, lantas beranjak menuju batu gilingan. Tak berapa lama sang Nabi ﷺ melemparkan segenggam biji gandum sambil mengucap bismillah, maka berputarlah batu menggiling biji-bijian gandum sampai beliau ﷺ menitahnya berhenti.

“Fatimah, bila Allah berkehendak, maka batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu, namun Allah menghendaki kebaikan-kebaikan atas dirimu, serta menghapus keburukan-keburukan dan akan mengangkat derajatmu.” Rasulullah bertutur.

Kisah yang dinukil dari riwayat Abu Hurairah sungguh menggambarkan kedekatan mendalam antara sang ayah dan putrinya. Syahidah Fatimah tak segan menumpahkan keluh kesah yang dirasa, sementara sang ayah Rasulullah ﷺ bersedia mendengar dengan sepenuh hatinya.

Momen mengesankan; Ada cerita lepas dari lisan mengalir tanpa beban. Ada jalinan kepercayaan mengikat untuk saling menjaga. Jua ada harap, hati kembali tenang setelah gejolaknya menyembul.

Apakah sang Nabi ﷺ menuruti putrinya memintakan seorang pelayan pada Ali RA? Tidak, sang Nabi ﷺ hanya mendengarkan dan memotivasi sang putri bahwa proses yang sedang dijalaninya adalah bagian yang tak akan sia-sia, manakala dijalani dengan ketulusan niat.

Terkadang, kepelikan masalah bisa diselesaikan hanya dengan mendengar secara empatik. Rollo May, pakar psikoterapi mengemukakan bahwa empati merupakan kecakapan mental yang sangat penting dalam terapi. Jika anda ingin membantu masalah-masalah psikologis yang dihadapi oleh seseorang, maka empati adalah bekal yang paling berharga.

Dan tahukah engkau? Empati lahir dari kesediaan untuk mendengar. Maha suci Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut, semata agar proporsi mendengar lebih banyak daripada berbicara. Menurut riset University of Missouri, Colombia, mengungkap bahwa dari kita berkomunikasi sehari-hari 45% digunakan untuk mendengar, 30% bicara, 16% membaca dan 9% menulis.

Di era keterbukaan dan keluwesan berkomunikasi, sebagian besar kita berlomba untuk banyak didengar. Lisan menjadi tak sabar untuk segera berkata-kata; lincah jemari memencet tombol guna mencitra diri atau sekedar mengunggah rasa. Telinga terasa jemu bila mendengar. Ironisnya, kalaupun mendengar menurut Stephen R Covey dalam bukunya The 7 Habits of Effective People, kebanyakan orang tujuannya bukan untuk memahami, tapi lebih sebagai persiapan umpan balik untuk bisa membalas lawan bicaranya.

Lalu mengapa akhirnya mendengar menjadi demikian penting? Nyatanya perkara mendengar bukan semata menunggu giliran ‘berbicara’, lebih jauh ia melatih diri menahan ego, memberi ruang pada diri untuk memahami sudut pandang orang lain.

Diam mendengarkan bukan berarti acuh, namun seringnya kita mengira orang yang paling aktif bicara adalah orang yang paling peduli. Padahal acapkali diam mendengarkan menjadi bentuk perhatian mendalam. Pun ketika seseorang memilih diam, tidak menjeda pembicaraan maka disitulah ada nilai menghargai.

Mendengar juga bisa membuka celah solusi akibat konflik berlatar miskomunikasi. Kesalahpahaman bisa terurai dengan ‘mendengar’ secara aktif hingga komunikasi efektif dapat terjalin. Bahkan untuk seorang leader, mendengar merupakan seni baginya dalam memimpin.

Pada ujungnya ‘mendengar’ membuka ruang memahami; merasai setiap gejolak curahan hati yang diungkap. Lantas benak mencoba merangkai kata, agar lisan bertutur tak menuai luka saat merespon.

Hikmah dipetik dari kisah sang Nabi ﷺ dan putrinya. Tak selalu orang butuh solusi dalam setiap keluhnya. Cukup ia dimengerti, dipahami dan disuport atas segala yang menimpa sampai tenang jiwanya ( berempati). Dan langkah awal untuk bisa berempati adalah diam sejenak; belajar mendengar secara aktif dan sepenuh hati.

Referensi:

  • Adhim, M. Fauzil, Agar Cinta Bersemi Indah, 2002, Gema Insani Press, Jakarta

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.