Inspirasi

Merengkuh Nurani

5
(1)

Boleh jadi semesta jemu, acapkali menjadi saksi atas kefasikannya. Seorang pemuda dengan siklus hidup teramat nista. Pagi menenggak khamar, hingga berbuntut pada cela yang lain; mengacau dan membegal.

Malam jua kian beku. Atas ulah sang pemuda tak kenal malu. Menghampiri rumah lacur di penghujung waktu, hingga tak berbilang kubangan dosa yang terus direka.

Sampai suatu waktu, ia terjebak cinta pada pandangan pertama. Khayalan terus menari dalam benak, bermimpi mendapat wanita pujaan. Berjalan ia, menyusuri pelosok desa, demi mencari berita seputar wanita pemikat hati.

Tekad kuat membuahkan hasil, sang pemuda berhasil mendatangi kediaman sang wanita. Diutarakan maksud bertemu, dengan kejujuran sang pemuda bertutur bahwa ia menyukai wanita tersebut.

Sang pemuda pun tak mengelak, indahnya bola mata sang wanita membuat daya pikat yang menjerat. Ia jelaskan pada sang wanita, saat ditanya kenapa ia menyukainya.

Detik berlanjut, tanpa diduga sang wanita mencongkel kedua bola matanya, lantas meletakannya dalam bejana. Sang pemuda terperanjat kaku; kakinya terpaku dan lisan membisu.

” Apakah engkau masih menyukaiku, bila kondisinya seperti ini?” Tanya sang wanita. Bagai pukulan hebat menghempas dadanya, sang pemuda seolah semakin jauh terjatuh. Tak mampu bersua, jantungnya seakan berhenti berdetak.

Nyatanya cerita itu kelak menjadi kilas balik hidupnya. Sang pemuda adalah Utbah bin Aban bin shum’ah, atau lebih dikenal dengan Utbah Ghulam. Pada akhirnya Utbah mendatangi majelis Imam Hasan al Basri, jiwanya meronta ingin kembali kepada jalan kebaikan.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” ( Al Hadid:16)

Meluluh hati dalam kehangatan syahdu, demi mendengar ayat terlantun dari lisan Iman Hasan al Basri.

“Wahai syeikh, adakah kesempatan untukku jika aku bertaubat?” Tanya Utbah terbata; suaranya tercekat dari luapan rasa gelisah, takut namun menanti harap.

“Allah akan mengampunimu, dan menerima taubat dari kemaksiatan yang kamu lakukan. Pintu taubat-Nya terbuka lebar” Begitu sang Imam menjelaskan.

Sekonyong-konyong Uthbah Ghulam tak sadarkan diri. “Benarkah syeikh Allah akan mengampuniku?” Setelahnya sadar, ia kembali mengulang pertanyaanya. Lagi-lagi Utbah Ghulam jatuh pingsan, sampai ke-3 kalinya saat sang Imam memberi wejangan bahwa Allah Maha Pengampun dengan segala kasih sayang-Nya.

Sungguh tak ada yang bisa menjamin akhir dari kisah seseorang. Selama bumi masih menjadi tempat berpijak, dan ruh belum beranjak dari raga, keimanan bagai “berumah di tepi tebing.” Rentan terjebak dalam celah kemaksiatan, demikian pula masih terhampar ruang untuk pertaubatan.

Sama halnya seperti Utbah Ghulam, mungkin masa lalunya kelam. Namun ia tak patah arang, kesempatan yang ada tak dilekang. Bergegas diri saat tersentuh panggilan nurani. Pastinya berat, apalagi bayangan aib serasa mengitari. Mengecap diri terlalu kotor untuk ‘kembali’, seolah nodanya lekat membekas.

Tetapi bukankah Allah tak melebeli diri dengan kutukan permanen, asal diri masih mau merunduk taubat? Bukankah ada sebuah kepastian janji-Nya, menyediakan maghfirah selagi hamba mendekat, andaikan masih dalam garis waktu yang ada?.

Dan Utbah Ghulam adalah sebuah hikmah, menyela takdir buruk dengan pertaubatan. Di akhir hayat ia dikenal sebagai ahli ibadah, murid imam terkemuka Hasan al Basri.

Menyadari kesempatan hidayah  bagaikan angin yang berlalu cepat, menggugah diri berpacu mengejarnya dengan waktu. Menggenggam hidayah erat atau membiarkannya lepas berlalu adalah pilihan. Semua berpulang kepada diri, mengikuti titah nurani sebagai sumber dasar fatwa, atau memperturut nafsu walaupun mengelabui fitrah insani.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.