Inspirasi

Sahaja Berpetuah

0
(0)

“Doakan mereka agar celaka!” Seru sang murid kepada Syeikh Ma’ruf al Kurkhi, ketika serombongan orang melewati mereka dengan bernyanyi seraya menenggak minuman keras.

“Ya Tuhanku! Seperti mereka bisa bersenang-senang di dunia ini, buatlah mereka bisa bersenang-senang di akhirat nanti.” Doa sang guru seraya menengadahkan tangan.

Sang murid heran demi mendengar doa sang guru yang justru mendoakan kebaikan dan keselamatan bagi para rombongan yang berulah tidak semestinya.

“Apabila kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi penolong setan yang ingin mencelakainya dengan mengatakan “Ya Allah adzablah dia, Ya Allah laknatlah dia”. Tetapi mohonlah kepada Allah agar dia selamat (bertaubat). Karena sesungguhnya para sahabat Nabi tak berani melaknat orang yang masih hidup. Siapa tahu dia bertaubat di akhir hayat. Kalaupun dia tidak bertaubat, kami tetap mengkhawatirkannya sembari mengharapkan dosa-dosanya diampuni.”

Bijak bersikap, menimbang dampak atas kejadian tidaklah selalu salah. Tak perlu langsung mengutuk jika kemungkaran nampak di depan mata. Apalagi bila kemungkaran lahir dari ketidaktahuan atau kekhilafan yang boleh jadi daya rusaknya masih bisa ditolerir.

Teringat kisah seorang Badui Arab yang tiba-tiba datang ke masjid lantas buang air kecil disalah satu sisinya. Sontak membuat para sahabat geram, namun baginda saw santun mencegah. “Biarkan ia menyelesaikan hajatnya, ambil air dan bersihkan tanah yang terkena najis. Sesungguhnya kamu di utus untuk memudahkan bukan mempersulit.” [ dinukil dari hadist Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah]

Mungķn titah membuat sebagian sahabat gerundel, namun penglihatan dan pengetahuan sang Nabi saw jauh lebih tajam. Memandang kebaikan yang lebih luas dibanding mudharat yang tampak. Hasilnya? Sang Badui dalam “kebodohannya” mencintai Islam sebagai agama yang indah.

Kita kerap memvonis, sebelum menelisik. Mengutuk sebelum memahami. Padahal dunia adalah ruang kemungkinan yang masih belum bisa dipastikan ujung dari kehidupan seseorang. Bisa saja hari ini ia salah, lusa ia adalah hamba yang larut dalam pertaubatannya.

Kita cenderung sensitif terhadap kesalahan orang lain. Terlalu tergesa ingin “membetulkan” kekhilafan orang, hingga situasi dan kondisi tak lagi menjadi pertimbangan untuk bereaksi.

Kita terlalu ingin membuat orang sempurna dalam kebaikan jalan, tapi kita lupa nasehat layaknya pil pahit yang terkadang membuat orang enggan menelan, apalagi bila cara memberinya tak sesuai takaran atau terselingi kalimat yang tak mengenakan.

Kesalahan, kekhilafan adalah kemungkaran yang harus ditiadakan dan diminimalisir. Namun nasehat punya adab yang dijunjung, punya cara tanpa membuat orang terintimidasi.

Kita paham betul betapa kejam dan bengisnya Fir’aun dalam berbuat kemungkaran. Tetapi Allah tetap meminta Nabiyullah Musa as dan Harun as menjumpainya dengan kesantunan.

Untuk sekelas Fir’aun saja masih ada ruang untuk berbaik-baik dalam merespon, bagaimana dengan kebanyakan umat? Yang boleh jadi kesalahannya jauh dibawah Fir’aun.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.