
Lelaki kecil menggenggam erat tangan sang guru, beriringan menyusuri pantai. Sesekali sang guru menunjuk ke arah jantung kota termasyur di abad ke-10 Konstantinopel, ibukota Imperium Romawi Timur.
Sang guru, Syeikh Aaq Syamsuddin selalu mengulang-ngulang impian besar yang pernah Rasulullah sampaikan dalam sebuah pesan;
“Sesungguhnya Konstantinopel itu pasti akan dibuka (ditaklukan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” [HR.Bukhari-Muslim]
Dari kejauhan sambil menunjuk Byzantium sang guru menanamkan keyakinan,
bahwa sang muridlah yang akan menaklukannya!
Dan hanya dalam hitungan tahun, Sultan Muhammad Al Fatih, sang murid berhasil mewujudkannya; menaklukan Konstantinopel dengan 250 ribu pasukan terbaik. Setelah bertempur selama 53 hari pada tanggal 29 Mei 1453, Kekaisaran Byzantium pun berhasil diambil alih.
Pernahkah kita bertanya tentang kelemahan yang bersarang dalam diri? Bertanya secara definitif mungkin jarang bahkan tak pernah, namun secara tak langsung justru kita sering terjebak dalam kelemahan-kelemahan itu.
Buktinya kita kerap berasumsi terhadap sesuatu sebelum kita bergerak melangkah. Kita cenderung menahan diri melakukan sesuatu yang kita sendiri belum mencoba. Pada akhirnya harus kita akui, kita terjangkit inferioritas; rendah diri dalam kelemahan yang kita ciptakan!
Setiap orang adalah produk dari pikirannya, demikian kesimpulan dari buku Berpikir dan Berjiwa Besar karya populer dari David J. Schwart. Semua berawal dari apa yang kita pikirkan dan apa yang digambarkan dalam benak.
Sekedar membayangkan keinginan dalam alam akal tidak lekas membuat raga bangkit bergerak. Masih dibutuhkan kekuatan ‘kata’ untuk bisa memotivasi ulang pikiran agar ia terus bisa tersulut menyala semangatnya, ini yang disebut afirmasi diri; mengulang-ngulang kepositifan dalam gerak lisan atau goresan tulisan sebagai bentuk peneguhan diri.
Memang kosakata yang terlontar atau tertulis belum bisa mengklaim orang disebut telah berpikir besar. Itu baru sebatas pemantik otak agar menitah anggota tubuh untuk bergerak. Maka afirmasi bisa efektif jika memberi efek pada diri untuk bergerak, yakni dengan melaksanakan apa yang digambarkan pikiran sebagai keinginan atau impiannya.
Keberhasilan lahir dari kepercayaan. Kepercayaan bahwa diri mampu melakukannya. Bila diri sudah mulai yakin, ia akan seperti air mencari celah untuk tetap bisa mengalir. Artinya setiap kelemahan bisa disiasati dan diperbaiki, apalagi jika kelemahan hanya lahir dari kekhawatiran diri lemah, padahal nyatanya kemampuan ada bahkan mungkin jauh lebih mumpuni dari yang diduga.
Inilah yang dilakukan Syeikh Aaq Syamsuddin, gurunda Sultan Muhammad Fatih. Mensugesti sang murid dengan afirmasi diri dan melumpuhkan penyakit kegagalan dengan menepis asumsi negatif dalam otak, hingga diri ‘berpikir bisa’ dan mau mencoba.
Sejatinya kita hidup dalam proses belajar. Belajar sampai berkalang tanah. Dan tak ada kata usai untuk belajar karena pada hakikatnya manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan. Semua insan berpotensi melakukan khilaf di sepanjang hayatnya, kecuali Rasulullah saw yang maksum atas legalitas dan penjagaan Allah swt.
Keberhasilan lahir dari kepercayaan. Kepercayaan bahwa diri mampu melakukannya. Bila diri sudah mulai yakin, ia akan seperti air mencari celah untuk tetap bisa mengalir. Artinya setiap kelemahan bisa disiasati dan diperbaiki, apalagi jika kelemahan hanya lahir dari kekhawatiran diri lemah, padahal nyatanya kemampuan ada bahkan mungkin jauh lebih mumpuni dari yang diduga.
Dan terpenting tetap optimis dalam menebar kebaikan, karena itu adalah bagian dari pekerja dakwah yang sponsornya adalah Allah? Segenap kekuatan berhimpun pada-Nya. Tentu sangat mudah bagi-Nya memberi kekuatan dan pertolongan atas kelemahan diri saat berjibaku dalam aktifitas kebaikan. Dengan prasyarat berusaha untuk tetap berada didekat-Nya.