
” Saya hanyalah seorang Habsy, dan kemarin saya seorang budak belian!” Bertutur lelaki berkulit hitam legam dengan tubuh kurus dan berambut lebat, saat orang menyebutnya ” pemimpin kita”. Seketika air mata mengalir membasahi pipi.
Terkenang ia..
Ketika di bawah sengatnya matahari, yang membakar gurun pasir laksana jahanam. Ia dilemparkan bak binatang. Bagai nista, merobek harga diri manusia. Batu besar diletakan tepat di atas dada dan tubuh yang terkulai tak berdaya.
Keteguhannya membuat penyiksa suruhan Umayah frustasi dan iba. Kebiadaban apa lagi yang mesti dibuat agar membungkam Kalimat Tauhid yang terus meluncur dari lisan Bilal bin Rabah selama masa penyiksaannya. Ahad ..Ahad…Ahad!!
Siksaan ditimpakan berhari- hari. Tubuh ringkih didera derita tak berkesudahan. Berusaha bertahan dan menahan untuk tidak menyebut Lata dan Uzza.
Di ambang batas kemampuan diri, Allah menolongnya melalui tangan Abu Bakar. Bilal dibeli dengan harga tertinggi lebih dari yang ditawarkan, kemudian dimerdekakan. [1]
Bilal adalah simbol kebebasan dan kemerdekaan jiwa, bagian termahal bagi hamba. Kemerdekaan status dan raga dari tuannya Umayah tentu hal menggiurkan pada posisinya. Tapi Bilal jeli, kemerdekaan hakiki terletak pada nurani saat kembali kepada Rabb-nya. Hingga ia lebih memilih bertahan meski mati sebagai pilihan akhir.
Kemerdekaan hamba yang berdiri di atas kendali Tuhan membebaskan diri dari belenggu nafsu angkara dengan menampikan ilah lain kecuali pada-Nya. Menebas batas kasta, ras, harta, tahta, rupa dan sekat kelaliman manusia lain yang ada.
Rasa takut dah harap tertuju hanya kepada Allah. Diantara bukti darinya mencintai dan membenci sesuai Kehendak Allah. Dan satu jaminan, kecintaan dan kebencian Allah bermuara pada kebaikan dan kebahagiaan hamba.
Jiwa merdeka berawal dari janji. Ikatan suci antara Rabb dengan hamba . Terjalin erat menjadi fitrah diri. Kemana pun hamba melangkah, pada satu titik, akan berpulang pada fitrah, walau raga mengingkari.
” Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.( Qs. Al A’raf: 172)
Tengok Fir ‘aun, kemegahan dan kekuasaan tanpa batas tak membuatnya terhindar was-was, psikologisnya terancam pada kekhawatiran dari sebuah mimpi. Kekonyolan dibuat, nalar kalang kabut. Hingga membunuh bayi- bayi suci menjadi titah yang naif.
Fir’aun sama adanya dengan Qarun, terkesan merdeka dengan harta dan kuasa, tapi nyatanya? Jiwa masih terbelenggu. Kesalahan menambatkan janji jiwa pada suatu yang nisbi dan fana.
Wahai lihat !!
Lelaki tegap berjalan memasuki istana Heraklius. Percaya diri, melangkah tanpa takut. Tawaran sang Kaisar memberikan separuh kerajaan Romawi sebagai imbalan bila Abdullah bin Hudzafa mau melepaskan keyakinannya, ditepis dengan tegas. Heraklius buntu dan kacau, ancaman pembunuhan dan siksaan pun tak membuat sang Panglima berpaling dari agama Allah. Ketidakberdayaan membujuk jiwa merdeka, membuat Heraklius akhirnya membebaskan 300 tawanan kaum muslimin.[2]
Pun di sini, di bumi pertiwi. Bertebaran jiwa- jiwa merdeka, selayak singa podium KH. Zainal Musthafa. Dengan keberanian, menebarkan semangat perlawanan penjajah melalui khutbah heroik, menggugah semangat juang para santri Tasikmalaya.
Atau semisal sang tentara ulama K.H. Noer Ali. Tak pernah merasa takut akan nyawanya, berjuang melawan Belanda, Jepang hingga pemberontakan PKI demi mengusir penjajahan di tanah Bekasi.
Demikian jiwa merdeka, jiwa sudah tergadai oleh Maha Pemilik Jiwa, tak ada lemah, takut apalagi khawatir. Semua kondisi baik adanya, selagi bisa bertumpu pada kebenaran.
” Ibu, seorang yang telah menamkan cinta kepada Allah dan ridha dengan segala keputusan-Nya, merasa mulia berada disisi-Nya, masih tetap pada tekad dan sumpahnya, tidak akan bersujud selain kepada Allah.” [3]
Referensi:
- Khalid, Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, 2004, Bandung, CV Penerbit Diponegoro.
- Republika [dot] co [dot] id, edisi 13 April 2020.
- Gharisah, Ali, Muhammad, Kisah Kisah dari Penjara, 1993, Jakarta, Gema Insani Press, Hal 89