Tak Berkategori

Berteguh Hati

0
(0)

Kebanyakan kita seolah takut dicela, hanya karena tak sama. Kita jadi enggan melawan arus, itu sebab pendapat dirangkai sejurus. Daripada terabai dalam sosialita, lebih baik ikut walau jiwa tak bahagia.

Kita seperti ingin terlihat seirama, tapi lupa sejatinya diri tak sama. Sewarna tak selamanya menawan,  terkadang membuat pegal penglihatan. Terlebih bila bersama diminta melabrak norma yang sudah menjadi aturan dalam berpolah.

Satu kejadian kecil jika pelakunya banyak pada akhirnya bisa menormalisasi perbuatan. Apalagi di dunia dimana netizen menjadi “wasit” melalui _like and comment_-nya. Segalanya ditakar dari rating, tidak lagi dilihat sejauh mana kelayakannya.

“Menyesuaikan keadaan” dalih yang terkesan bijak di tengah sistem yang tak lagi menentu. Namun bukankah adaptasi punya batasan dan alasan? Bukankah turut yang salah justru *melarut* dalam keadaan? Menormalisasi dan menganggapnya bagian yang tak perlu diubah.

Rasanya tak perlu jua mengekor jika tahu itu adalah kesalahan, atau minimal ada rasa tak nyaman bila melantaskan, terlebih ranah kebenarannya sudah terang menderang. Menjadi “berbeda” dengan tetap baik di dunia yang tak baik-baik saja adalah langkah kecil sebagai upaya *menggerus keburukan* yang dianggap wajar.

Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” ( Qs. Al Isra :36)

Menjadi diri sendiri, salahkah? Tidak juga, kosakatanya saja yang perlu ditambah agar terlihat lebih terarah. Bukan sekadar kalimat ‘membuka ruang mencari keunikan diri’ namun tidak ‘ditutup’ dengan bagaimana cara mengemasnya. Tentu ini membuat orang berasumsi atas mau sendiri; boleh jadi liar dan tak terkendali.

Apalagi di usia meranjak dewasa, pencarian jati diri kerap terbentur pada konsep aku yang ingin mendapat validasi dari lingkungannya. Sebuah kerawanan berpotensi dalam pembentukan karakter bila rujukannya pada nilai yang semu.

Jadilah diri sendiri atas mau Tuhanmu, terdengar lebih jelas dan terukur. Diri akan ajeg berpijak dengan tuntunan wahyu Ilahi, karena standar *aku* digiring pada norma baku yang teruji _value_-nya.

Maka…
Jadilah diri sendiri atas mau Tuhanmu. Hidup tinggal sesaat, di garis waktu yang tak lagi mau melambat. Jujur saja pada nurani, ia akan mencipta seni menjadi diri jauh lebih berarti.

Jadilah diri sendiri atas mau Tuhanmu. Tak perlu jua berpura-pura sekadar membuat orang lain suka. Pada akhirnya para pengagummu akan pergi, ketika kau tak lagi berguna dan tak sedap dalam pandangannya.

Menjadi “berbeda” sebab ikut Tuhanmu tak pernah merugi, meski terkucil di bumi, kebaikanmu akan meninggi. _Eksis_ tak perlu larut dalam euforia kebanyakan. Tunjukan saja kemilaumu, biarkan sinarnya menjadi magnet sekitar. Sama halnya laron, kecenderungannya akan berkumpul pada sinar yang terang, bukan?

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.