Inspirasi

Pesona Marwah

5
(2)

Bergegas lelaki itu meninggalkan tempat shalatnya. Sementara, jama’ah subuh masih tertunduk khusyu dalam dzikir dan do’a. Semburat jingga di ufuk timur mulai terlihat. Menghantar lelaki itu pulang ke rumahnya.

Sekali, dua kali hingga beberapa kali, akhirnya Rasulullah SAW menyadari. Kebiasaan Abu Dujanah bersegera meninggalkan masjid jika sholat subuh telah usai.

” Wahai Abu Dujanah, apakah gerangan yang membuatmu senatiasa tergesa, selesai jama’ah shalat subuh? Tidakkah engkau memiliki keinginan yang akan kau sampaikan pada Rabbmu?” Nabi Allah bertanya pada suatu kesempatan saat bersama Abu Dujanah.

” Wahai Rasulullah, bukanlah demikian, sesungguhnya di samping pekarangan rumah tetanggaku terdapat pohon kurma, yang menjuntai memasuki pekarangan rumahku. Saat musim berbuah, bila tertiup angin malam kurma- kurma tersebut berjatuhan di pekarangan rumahku. Dan aku takut bila tidak segera aku kumpulkan untuk diberikan kepada pemiliknya, anak-anakku terbangun dan memakan kurma-kurma itu.” Jelas Abu Dujanah penuh kekhawatiran.

“Kehidupan kami sedang susah ya Rasulullah. Untuk makan sehari- hari pun, kadang kami kekurangan. Dan aku paham sekali dengan kondisi seperti ini. Anak- anakku pasti akan langsung memakan kurma-kurma itu, tatkala mereka menjumpainya tergeletak di dekat rumah kami. Demi Allah, tak akan pernah kubiarkan sedikit pun, barang haram masuk ke perut keluargaku.” Lanjut Abu Dujanah.

” Bahkan pernah saat aku telat pulang dari masjid. Ku dapati anakku telah memakan buah kurma yang jatuh. Sekuat upaya ku keluarkan apa yang telah dimakannya sampai anakku menangis. Aku hanya bisa memeluk, sambil mencoba memberikan pengertian, agar ia membantu menjaga harga diri ayahnya kelak.” Abu Dujanah mengakhiri kisahnya.

Mengalir air mata Nabi mendengar alasan Abu Dujanah. Prihatin atas kehidupan yang dialami salah satu sahabat pejuang Uhud. Diajaknya Abu Dujanah menemui tetangganya untuk meminta keridhaan atas kurma yang jatuh ke pekarangan Abu Dujanah.

Namun karakter kemunafikan muncul pada diri tetangga Abu Dujanah, ia menolak memberikan keridhaan atas kurma- kurma yang jatuh. Sang munafik sangat senang melihat kesusahan Abu Dujanah.

Tak berapa lama Abu Bakar mendengar kisah Abu Dujanah. Dibelinya pohon kurma dengan harga tertinggi 10 kali lipat dari harga pasar. Bukan main senangnya sang munafik. Pohon dibeli namun masih menjadi miliknya.

Kesukacitaan di ceritakan pada sang istri malam harinya. Pun termasuk kelicikan yang akan dilakukannya kepada Abu Dujanah. Bahwa ia akan tetap menguasai pohon secara penuh. Tak akan pernah membagi pada Abu Dujanah.

Allah Maha mendengar, segala tipu daya munafik tetangga Abu Dujanah. Dengan segala kekuasaan-Nya, esok paginya pohon kurma sudah berpindah tempat dengan sendirinya. Tanpa meninggalkan bekas dipekarangan sang munafik.

Kepapaan tak membuat Abu Dujanah menghinakan dirinya. Marwah ( harga diri) tetap dijunjung, apalagi di depan orang yang berpotensi meniup-niupkan fitnah hingga islam turut serta ternoda dengannya. Terpenting lagi, Abu Dujanah bertekad untuk menjaga keluarganya dari hal- hal diharamkan. Hingga mejadikan dirinya lebih memilih kehati-hatian.

Hari ini, hampir di setiap perempatan lampu merah jalan atau di pojok pertokoan. Menjadi pemandangan seolah biasa. Menengadah tangan, memelas, menarik belas kasihan ‘demi sesuap nasi’. Anak- anak pun terkadang disertakan hingga menggugah rasa iba. Ironisnya, tak jarang aktifitas seperti ini pada akhirnya dijadikan sebuah profesi.

Di sudut lain, dalam sebuah momen. Berdesak-desakan kaum bapak, ibu dan anak berbaur saling dorong, bersikutan satu sama lain demi mendapat selembar amplop dari sang ‘dermawan’. Semua tak peduli asal dapat rezeki. Padahal kondisi tersebut rawan insiden, keselamatan pun terabaikan.

Tidak ada yang salah dalam kontek maksud berusaha dan memberi, hanya cara sedikit tak elok. Islam mengajarkan, menghindarkan diri sejauh mungkin dari perihal merendahkan diri dalam bentuk apapun. Karena islam menghargai nilai kemanusiaan, tanpa harus terhina di depan khalayak. Cukup mengiba pada Sang Pemilik diri.

Menukil An Nasai dalam riwayatnya, pengecualian islam membatasi golongan orang yang boleh meminta dari 3 kategori; seorang yang menanggung hutang orang lain hingga terlunasi, seorang yang tengah tertimpa musibah hingga hartanya habis serta orang yang sengsara dan kesengsaraannya dapat dipersaksikan.

Selayak Abu Dujanah, dilorong gang masih didapati. Sosok renta dengan pikulan tersandang di bahu. Berisi cobek batu (ulekan) beberapa susun yang menggantung berat di kedua sisi. Terseok- seok berjalan, mengitari kampung. Mencari sesuap nasi, tanpa diri harus mengiba.

Beberapa kaum muda, tanpa malu mendorong gerobak menjajakan dagangan. Asal bisa bertahan hidup dengan cara yang halal. Puluhan langkah tak jadi soal, meski peluh dan lelah menjadi keseharian. Pesona diri memancar dari ketawakalannya pada Ar Rahman. Menjadikan diri mampu menetapi kesabaran, meski ikhtiar seakan tak berujung.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.