
Siapa dirimu?
Kefakiran tak membuatmu resah menetapi kejujuran, meski mudah bagimu belaku curang.
Dalam gelap, tertutup bilik, dan hening.
Dimana Allah? Ujarmu mempertegas diri.
***
Menyusuri lorong Madinah, menjadi rutinitas Umar bin Khatab tatkala menjadi khalifah. Menyibak gelapnya malam nan sunyi, menelisik langsung kondisi masyarakat dibawah kepemimpinannya.
Saat lelah Umar bersandar di dinding sebuah rumah. Tak sengaja Umar mendengar percakapan ibu dan putrinya dari kediaman tempat ia berhenti
“Campurkanlah nak susu itu dengan air, agar kita bisa mendapatkan keuntungan lebih esok hari!”
“Bukankah Khalifah melarang yang demikian ibu?” Jawab sang putri menolak permintaan.
” Umar tidak tahu nak.” Sang ibu membela diri.
” Umar memang tidak tahu, tapi dimanaTuhan Umar ?” Bersikukuh sang putri menolak keinginan berbuat curang.
Umar tertegun, ucapan sang putri memberi kesan mendalam. Kejujuran menghantarnya menitah Ashim bin Umar bin Khatab sang putra mendatangi rumah tersebut pada pagi harinya. Umar bermaksud menikahkan Ashim dengan Fatimah, putri dari wanita penjual susu.
Pernikahan barakahpun dibangun dalam bingkai keimanan. Tanpa memandang tahta dan harta. Lahirlah dari keduanya seorang putri. Dimana saat dewasa sang putri dengan sebutan ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khatab dipersunting Abdul Aziz bin Marwan. Kelak dari rahimnya terlahir sosok monumental Umar bin Abdul Azis, pemimpin yang sangat bersahaja, adil dan zuhud.(Samson Rahman, 2000)
Umar bin Abdul Azis cicit dari Umar bin Khatab, memerintah tidak lama kurang dari 3 tahun. Namun demikian dalam waktu singkat mampu memberikan kebermanfaatan besar bagi negeri, hingga rakyat merasakan kesejahteraan yang luar biasa.
Menghadirkan Allah disetiap keputusan yang dibuat mendatangkan keberkahan. Nikmatnya tak terhenti pada si pemeran. Namun meluas bagi sekitar bahkan menembus lintas generasi.
Menghadirkan Allah di setiap hembusan nafas, menjadikan barometer diri dalam bertindak. Mengikat erat nafsu liar hingga berada di bawah kendalinya. Setiap lintasan buruk yang merayu dalam fikiran, mudah segera ditepis.
Tak menampik jika kejahatan terjadi salah satu faktor adanya kesempatan. Ruang kesempatan membuka celah bagi dialog dalam sanubari. Sisi baik dan sisi buruk. Perjuangan rasa dimulai. Saling menarik saling berargumen untuk memutus tindakan yang akan dilakukan.
Dalam keadaan kritis seperti ini Menghadirkan Allah menjadi satu solusi. Kekuatannya memberi energi pada sisi baik untuk bisa menekan sisi buruk, hingga melahirkan putusan dan prilaku baik.
Jujur terhadap kata hati, menuntun ketenangan jiwa, sebagai indikator berada pada jalur yang benar.
” Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan kejelekan selalu mendatangkan kegelisahan.”(HR. Hakim)
Beragam tindak kejahatan seperti; kriminalitas, korupsi, perzinahan dan lainnya bisa diminimalisir, bila para insan mampu menghadirkan Allah dalam keseharian. Ibarat terpasang kamera pengintai dalam diri. Semua mudah terdeteksi, hingga diri malu untuk bertindak keji.
Menarik ketika Umar bin Khatab ingin mengundurkan diri dari jabatan hakim di Madinah, saat Abu Bakar memerintah. Selama setahun Umar tidak pernah melakukan persidangan. Bukan karena mangkir dari tugas atau karena merasa berat bebannya. Namun alasan permohonannya berhenti karena umat pada saat itu sudah memiliki “Allah” sebagai pengawas internal dalam masing- masing jiwa, hingga kemungkaran mengecil keberadaannya. (Muhammad Hafil, 2020)
” Wahai khalifah, pemimpin setelah Rasulullah! Bukan begitu maksud saya. Melainkan karena semua orang Mukmin sudah tidak lagi membutuhkan bantuan saya. Semua orang tahu haknya masing-masing. Tidak ada yang meminta lebih atau mengambil hak orang lain. Semua orang menjalankan kewajibannya, tidak ada yang salah. Semua orang mukmin di sini mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. Jika ada satu orang yang tidak terlihat, mereka merasa kehilangan dan mencarinya. Jika ada yang sakit, mereka menjenguknya. Jika ada yang miskin, mereka membantu yang kesulitan, mereka membantunya. Jika ada yang tertimpa musibah dan kemalangan, mereka ikut bersumpah cita, berbela sungkawa, dan mendatanginya. Agama mereka jadikan sebagai nasihat ?” Demikian Umar bertutur saat sang khalifah meminta penjelasan pengundurannya.
Referensi:
- Rahman, Samson, Terjemah Sejarah para pengusa Islam, Tarikh Khulafa Imam Suyuthi, 2000, Pustaka Al Kautsar
- Hafil, Muhammad, Setahun menjadi hakim, Umar bin Khatab tak pernah bersidang,2000, ìslamdigest.republika.co.id