
Tak daya, sekeras apapun usaha melindungi sang jungjungan, lelaki berkulit kecoklatan itu tetap kewalahan. Tubuhnya kian ringkih, ia jadikan tameng agar sang Nabi saw. tak terluka. Tak ayal, kepala Zaid bin Haritsah r.a. pun babak belur, berdarah-darah!
Siapa sangka kehadiran keduanya di tanah Tha’if mendapat perlakuan teramat kasar. Para pemuka Tsaqif di kota Tha’if menitah orang-orang jahat dan para sahaya mengusir lelaki mulia dan sahabatnya dengan menghujani batu dan cacian menyayat kalbu.
Kedua tumit Rasulullah pun cedera, rembesan darah membasahi terompahnya. Tertatih sang Nabi menjauh pergi, diiringi Zaid yang tetap setia menjadi tabir pelindung.
Suatu waktu syahidah Aisyah r.a. pernah bertanya, “Duhai Rasulullah peristiwa apa yang paling berat daripada perang Uhud?” Sang Nabi saw. menjawab “Perjalanan ke Tha’if.”
Tak terbayang, pengusiran tak beradab menimpa junjungan. Kegeraman menyentak semesta, membangkit murka melihat sang Nabi terluka.
Kemurungan masih membelenggu, saat Nabi kembali menuju Makkah. Hingga di suatu tempat, Qarnut-Manazil, pelipur duka datang menghampir. Bak oase di padang tandus, menghapus dahaga penyekat kerongkongan.
Sang Nabi tertegun haru, gumpalan awan berarak melindunginya dari terik yang membakar. Di sudut langit nampak Jibril menyapa seraya berseru: “Sesungguhnya Allah mendengar apa yang diperbuat kaummu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung, agar ia menuruti segala kehendakmu.”
“Wahai Muhammad, apa yang engkau kehendaki? Jika engkau berkendak meluluhlantakan penduduk Tha’if, tentu aku akan balikan gunung Akhsyabin!” Malaikat penjaga gunung berseru.
Namun bukan anggukan tanda persetujuan atas tawaran balasan, Rasulullah justru menengadahkan tangan seraya memanjatkan doa keselamatan.
“Aku hanya berharap kepada Allah, agar Dia mengeluarkan dari kalangan mereka kelak anak keturunan yang menyembah-Nya semata.” Gumam sang Nabi berharap tulus.
10 tahun berselang, luka Tha’if terbalas lunas. Benih kebaikan lahir dari penduduk yang dahulu menghina dan mengusir. Belum lama Bani Tsaqif menyatakan diri memeluk Islam, sang jungjungan kembali keharibaan. Kebenaran menancap tajam di lisan yang dahulu pernah mencela Nabi, pancaran keimanannya menembus batas lintas generasi.
Sungguh menggetarkan, kaum Tsaqif termasuk suku yang tetap berdiri tegak dibelakang khalifah Abu Bakar r.a, saat gelombang kemurtadan bermunculan karena keengganan berzakat.
Bagai menghapus kemurungan yang dahulu pernah singgah di wajah nan mulia, beberapa pemuka Tsaqif terus menyemangati kaumnya untuk tetap tegar bersama janji setia dalam keislaman mereka.
” Wahai kaumku janganlah kalian murtad, sebab kalian adalah kaum yang paling akhir beriman, maka janganlah kalian menjadi kaum yang pertama dalam kemurtadan!”
Harapan dan doa Rasulullah nyata adanya, terkabul meski tak lama hidup dalam semasa. Ada maaf pembasuh luka, menoreh perih tapi tak pernah dirasa. Nyerinya bahkan sudah dilupa, mati rasa karena cintanya sangat sempurna.
Terkadang, para penebar kebaikan menemui terjalnya jalan. Terseok dalam kecaman, tersudut atas piciknya stigma yang dilekatkan. Namun, menelan kegetiran dalam luasnya maaf dan sabar adalah keniscayaan dalam masa “bertanam” kebaikan.
Harapan “menuai” menjadi satu kekuatan untuk raga selalu bisa bangkit kembali. Tak mengapa bila kenyataannya kebaikan belum diterima hari ini. Mungkin esok, lusa, atau nanti saat diri telah terbenam kaku di perut bumi, baru kebenaran nampak dan dirasa kehadirannya.
Sejumput maaf yang disisipi doa dan harapan tulus menjadi upaya akhir dalam ikhtiar menghadapi tantangan di jalan kebaikan. Apalagi untuk lingkup terdekat dari diri, keluarga misalnya. Segudang “maaf” menjadi deposit yang tak boleh kosong, tetap perlu diisi, karena bagaimanapun interaksi terpanjang kita ada dalam keluarga.
Pada akhirnya, pemberian “maaf” bukan sekedar perkara membebaskan hati dari kesempitan kekecewaan. Lebih jauh ia adalah bentuk kesempatan kedua untuk melakukan perbaikan atas kekhilafan dan kesalahan. Selainnya, kata “maaf” juga sebagai bentuk optimisme, memberi ruang penyadaran, agar diri menjadi pribadi lebih baik lagi.
Referensi kisah:
- Al-Buthy, Said Ramadhan, Muhammad, Sirah Nabawiyah, 2002, Jakarta, Rabbani Press
- Media online detikHikmah, Sejarah Kota Thaif dan Kisah Kedatangan Rasulullah SAW, edisi 14 Maret 2023 #Narasiuntuksivilisasi