
Di pembaringan lelaki agung itu gelisah, matanya tak bisa terpejam hingga larut menggayut. Pikirannya sibuk mencari tahu apakah kurma yang siang tadi disantap halal baginya. Kekhawatiran menyeruak sebutir kurma menjadi sumber alasan. Ya, Rasulullah cemas apakah kurma yang ditelan bagian dari sedekah yang tak seharusnya disantapnya.
Kekhawatiran juga menjalar merasuki sahabat mulia. Tak ayal, segera khalifah Abu Bakar r.a. memasukan jari telunjuknya ke rongga mulut. Sekuat mungkin ia mengorek-ngorek pangkal lidah, berharap bisa memuntahkan segelas susu yang belum lama diminumnya.
Khalifah menyesali ketidak hati-hatiannya, akibat didera rasa haus yang sangat. Tanpa bertanya ia meminum segelas susu segar yang berada di atas meja di rumahnya.
Terpaku Abu Bakar mendengar pelayannya berucap bahwa segelas susu adalah pemberian dari seseorang yang berutang atas upah praktek perdukunan yang dahulu pernah dijalani sang pelayan. Pelayan pun khilaf berkabar, karena biasanya khalifah Abu Bakar selalu menanyakan asal muasal makanan sebelum masuk ke mulutnya.
“Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalikh.” (QS: Al-Mukminun:51)
Urusan asupan pangan dalam Islam menjadi konsen tersendiri, karena makanan yang masuk menjadi inhern dengan tubuh. Tak heran bila makanan pada akhirnya asupan akan memberi efek pada kepekaan jiwa, prilaku dan tentunya kesehatan jasad.
“Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lain kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentangnya) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah.” (QS: Yunus [10]:59)
Selektif menjaga apa yang dikonsumsi, secara tersirat memberikan gambaran perjuangan seorang hamba dalam menjaga janji setia kepada Penciptanya yang telah menggariskan makanan yang baik, disertai halal-haramnya dalam Kitabullah.
Keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baik pembuat ketentuan dengan keluasan segala ilmu-Nya tentu memberi jaminan bahwa aturan yang dibuat sebagai wujud kecintaan dan penjagaan Allah bagi hamba-Nya, sehingga diri termotivasi mengikuti arahan-Nya.
Menyeleraskan hidup atas kemauan Allah sama artinya menggiring hati untuk tetap berjalan diatas fitrah insaniyah. Dimana saat diri berjalan diatas fitrah secara otomatis nilai kebaikan yang akan menjadi keluarannya. Sebab fitrah adalah nurani kebaikan manusia yang bersifat universal yang kebaikannya telah disepakati dan diterima alam semesta.
Selainnya, menjaga asupan makanan menjadi bentuk perjuangan hati dalam menegakan kebaikan diri. Makanan baik dan halal yang dikonsumsi akan berkembang membentuk segumpal daging dalam tubuh. Gumpalan daging yang membentuk tubuh ini bila dinutrisi dengan hal yang baik maka akan melahirkan kebaikan pula, dan ini sudah menjadi jaminan-Nya melalui lisan Rasulullah.
“Barang siapa yang makan makanan halal empat puluh hari, maka Allah menerangi hatinya dan dialirkan sumber-sumber hikmah dari hati nya atas lisannya.” (HR: Abu Nuaim dari Abu Ayub).
Sama halnya seperti kisah diatas, walaupun sebenarnya tidak ada salah dan dosa bagi Rasulullah dan Abu Bakar memakan dan meminumnya asbab ketidaktahuan asal muasal, tetapi keduanya tetap mengevaluasi apa yang masuk ke tubuh dan berupaya untuk benar-benar menjaganya.
Menjadi sebuah keniscayaan bila seorang hamba menjadi kecintaan-Nya, maka pengabulan atas segala permohonan hamba menjadi perhatian lebih dari-Nya.
Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata,
“Barangsiapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah dikabulkan.”
Yusuf bin Asbath juga berkata,
“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.”
Sementara sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. saat ditanya “Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?” Beliau menjawab “Saya tidaklah memasukkan satu suap pun ke dalam mulutku melainkan saya mengetahui dari manakah datangnya dan dari mana akan keluar.”