
Tidakkah kautengok? Wajahnya berpijar laksana api. Bara di dadanya lebih panas bergejolak, tak padam, hingga puas mencerca.
Tidakkah kaudengar? Nyanyiannya terlalu bising di telinga. Ia tak berhenti pada kekejian kata, melontar fitnah, hingga mencoreng nama.
Namun, sekali-kali tidak! Meski harta, kedudukan, istri, hingga kerabat menyokongnya, maksud tak akan pernah sampai. Kehinaan di bumi dan di langit nyata baginya.
Belajar kebencian dari seorang Abu Lahab.
Ia simbol yang dinisbatkan pada dengki. Vonis penghuni neraka terlebel padanya meski ia masih berjalan di atas bumi. Ia laksana iblis, terkutuk tak akan pernah bisa menyentuh surga kelak walaupun mati belum dirasa.
Belajar kesumat dari seorang Abu Lahab. Percikan benci hadir saat diri merasa terancam. Kefanatikan akan Lata dan Uzza membangkit ego dan memuncak amarah. Kedudukan sebagai pemuka “agama” menolak keras ketauhidan yang dibawa sang kemenakan, Rasulullah Muhammad saw.
Degilnya Abu Lahab, makin menolak, makin ulet dan banyak akal. Semua cara halal baginya demi maksud tercapai. Dari “Bertanam tebu di bibir”, tipu-tipu, hasud, cela, hingga menghujam luka.
Rabi’ah bin Ibad ad Daili, sebelum masuk Islamnya bertutur, “ Dulu aku melihat Muhammad saw. di pasar Dzul Majaz. Beliau berkata, ‘Wahai manusia katakanlah tiada Tuhan selain Allah, maka kalian akan beruntung.’ Orang-orang berkumpul. Di belakang Nabi ada seorang lelaki; wajahnya bersinar, mempunyai dua untaian rambut panjang, orang tersebut selalu menyela ‘Dia pembohong! Dia berpaling dari agama nenek moyang! Lelaki itu terus menguntit ke mana Nabi pergi.’ “Aku bertanya tentang siapa lelaki itu pada ayahku, ‘Itu adalah pamannya, Abu Lahab!’ “
Ibnu Abbas RA bercerita, “ Nabi saw. keluar menuju al Bathha, lalu Rasulullah naik ke bukit dan berseru, ‘Wahai kaum Quraisy!’ Orang-orang Quraisy pun berkumpul. ‘Bagaimana pendapat kalian jika aku beritahu dibalik bukit ini ada sekumpulan musuh yang akan menyerang di pagi dan sore, apakah kalian mempercayaiku?’ Mereka berujar, ‘Ya, karena engkau orang yang terpercaya!’ Rasulullah berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian akan adzab yang besar.’ “
Dengan wajah memerah dan tangan mengibas-ngibas menunjuk ke wajah sang Nabi, Abu Lahab berujar, ‘Celakalah engkau, apakah hanya untuk ini kami disuruh berkumpul?’ Nabi tak membalas, Allah yang langsung berfirman, ‘Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan ia benar-benar celaka!’ “ ( Qs. Al Lahab)
Angkara sudah lazim meletup-letup di jiwa saat diri tak tahu lagi akan berbuat dan berkata apa, kalah. Yang ada hanya gelap mata, menjadi bodoh, berpolah tanpa pikir, kembali mengecil, dan hina.
Sungguh kebencian yang mengakar kuat pada sesama pun tak layak tampil, apalagi kebencian di dada Abu Lahab. Ia lupa; yang ditentang adalah ajaran Tuhan yang punya kuasa.
Tragedi menimpa Abu Lahab.
Jasadnya tak disentuh beberapa hari setelah kematiannya hingga aroma busuk menyeruak. Keluarga dan karib enggan mendekat karena diduga ia mati terjangkit penyakit yang menularkan.
Maka belajar dari Abu Lahab, tidak untuk meneladani, tetapi untuk mawas diri; menghindar dari kesalahan fatal, terkucil di bumi terhempas di langit.
#Narasiuntuksivilisasi