
Musafir muda tertunduk lesu. Ia digugat, diduga membunuh lelaki renta pekerja ladang. Sebenarnya ia bisa mengelak, tak ada saksi yang melihat kejadian. Namun ketakutan akan pengadilan akhirat menuntun lisannya mengakui apa adanya.
Musafir muda sadar ia khilaf, memukul lelaki renta penjaga ladang hingga tewas. Ia marah karena untanya mati di tangan lelaki renta. Sebenarnya di dasar hati ia jua merasa bersalah. Keletihan perjalanan membuatnya terlelap, hingga untanya tak tertambat baik berakibat merusak ladang orang lain yang dijaga lelaki renta.
Umar bin Khattab RA khalifah saat itu memutus hukuman mati bagi sang pemuda. Sang pemuda menerima namun ia meminta penangguhan. Alasan menyelesaikan tanggungjawab keluarga dan hutang piutang membuat Umar mengabulkannya dengan syarat sang pemuda menghadirkan penjamin.
Sang pemuda bingung, sebagai musafir ia tidak memiliki sanak keluarga dan tidak pula mengenal orang untuk dijadikan penjaminnya.
Di tengah kepasrahan, tiba- tiba Abu Dzar al Ghifari RA tampil ke depan, menyatakan diri menjadi penjamin.
Sontak masjid menjadi riuh, khalayak yang hadir menyesalkan keputusan Abu Dzar. Bagaimana jika pemuda asing tersebut ingkar janji? Abu Dzar belum mengenal siapa pemuda yang dijaminnya, sungguh keputusan beresiko besar baginya menjadi tumbal kematian.
Batas tangguh telah berakhir. Umar bin Khattab resah, musafir muda tak tampak batang hidungnya. Sesuai janji Abu Dzar lah yang akan dijatuhi hukuman mati. Abu Dzar bersiap, penduduk Madinah pun semakin cemas. Suasana mencekam menunggu detik- detik kematian Abu Dzar.
Di kejauhan nampak penunggang kuda dengan kecepatan tinggi menghampiri Abu Dzar. Sang musafir muda datang menepati janjinya, membuat semua orang yang menyaksikan terkesima.
“Apa yang menyebabkan engkau kembali wahai pemuda, bisa saja engkau berlari dari hukuman?”Tanya Umar penasaran. “Wahai khalifah, sungguh aku tak ingin dikemudian hari orang mengatakan, di kalangan kaum muslimin sudah tak ada lagi lelaki sejati yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!” Jawab sang pemuda lugas.
“Dan engkau wahai Abu Dzar, kenapa berani menjadi penjamin bagi pemuda ini?” Umar beralih bertanya pada Abu Dzar. “Wahai khalifah, sungguh aku pun tak ingin kelak dikemudian hari orang mengatakan, dikalangan kaum muslimin sudah tidak ada lagi lelaki sejati yang tergerak untuk menolong saudaranya ditengah kesulitan!” Abu Dzar bertutur membuat kekaguman Umar bertambah- tambah.
Tak mau terkalahkan, para penggugat sang musafir muda berkata “Wahai khalifah kami bersepakat, izinkan kami membatalkan gugatan atas kematian ayah kami, dan kami ikhlas memaafkan kesalahan pemuda musafir itu, kami juga tak ingin kelak dikemudian hari orang akan mengatakan, sungguh sudah tidak ada lagi lelaki sejati dikalangan muslim yang mau memaafkan kesalahan saudaranya!”
Kisah tersebut bukan dongeng 1001 malam penghantar tidur. Cerita nyata adanya, pemeran kisah adalah generasi terbaik polesan sang guru peradaban manusia, Rasulullah Muhammad SAW.
Apa yang merengkuh jiwa hingga terbentuk nilai diri begitu memesona? Empatinya hadir, egonya menjauh. Padahal diantara mereka tak satupun mengenal dekat.
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al Anfal: 63)
Penanaman akidah islamiyah melalui pengenalan hamba terhadap asma dan sifat- Nya mampu mengikat jiwa lelaki sejati itu. Kekuatannya memegang prinsip Ilahiyah melahirkan karakter kesejatian dalam diri berupa pekerti yang memesona.
Kepribadian menurut KBBI sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa. Kepribadian menggambarkan sifat khas mengacu cara individu menghadapi kehidupan. Dapat disebut kepribadian identik dengan karakter yang erat kaitannya dengan nilai perilaku universal.
Hebatnya Islam dalam pembentukan karakter bertumpu pada Allah sebagai pencipta manusia. Keterikatannya menjadikan perbuatan manusia tercatat sebagai amal ibadah dan memiliki sistem controlling langsung dari Dzat Yang Maha mengetahui. Sehingga efek prilaku yang lahir bersifat permanen dan laik uji, jika manusia masih berpegang teguh kepada tali Allah dengan sebenarnya.
Berbeda dengan pembentukan karakter yang dipoles tanpa mengikutsertakan keterikatan akidah, sifatnya superfisial, semu, dan mudah ambyar.
” Jangan sekali- kali engkau kagum dengan bagusnya ucapan ( retorika) seorang, tetapi kagumlah kepada orang yang memegang amanah, mampu menahan diri dari mencela kehormatan orang lain, inilah lelaki sejati.” ( Umar Ibnu Khattab)
#Narasiuntuksivilisasi