Inspirasi

BULIR MEMBERNAS EMAS

0
(0)

Epit Rahmayati
(Pena Generasi Cendekia Foundation )

“Barang siapa yang mempersiapkan Jaisyul ‘Usrah (pasukan di masa sulit), baginya surga.” 

Seruan Nabi membuat tubuh Ulbah bin Zaid panas dingin. Dilihatnya para sahabat mulai mendermakan harta yang dipunya, berinfak fi sabilillah.

Sementara Ulbah hanya bisa menyaksikan, kesibukan para sahabat mempersiapkan perbekalan melawan pasukan Romawi di bulan Rajab tersebut. Walau di masa paceklik, ditambah terik membakar gurun, kaum muslimin tetap bergegas menyambut genderang perang.

Menyadari hanya jiwa yang bisa diberi, Ulbah dan beberapa sahabat memohon pada Nabi berkenan mengikutsertakan mereka dalam jihad Tabuk. Namun kali ini sang Nabi mensyaratkan untuk tetap tinggal bagi yang tak memiliki perbekalan memadai, mengingat medan sulit ditempuh.

“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu” Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” [QS. (9): 91-92]

Selepas subuh berjama’ah, Rasulullah berseru “Siapa yang semalam bersedekah?” Tak satupun sahabat berdiri mengaku. Nabi mengulangi, tetap jua tak ada yang beranjak dari duduknya. Apalagi Ulbah, merasa tak ada harta yang bisa diberi.

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bergembiralah wahai Ulbah! Sesungguhnya sedekahmu tadi malam telah ditetapkan sebagai sedekah yang diterima.”

Ulbah tertegun tak percaya. Fikirannya menerawang mencari sebab, gerangan apa yang membuat Rasulullah berkata demikian. Ulbah teringat, kemarin ia begitu sedih, kepapaan membuatnya urung ke medan jihad. Meski diberi uzur, hatinya tetap gundah.

Malam itu ia bermunajat, mengadukan segala resah pada Tuhannya. Dengan berurai air mata, ditengadahkan tangan, seraya berkata:

“Ya Allah, sungguh Engkau telah memerintahkan berjihad. Engkau mendorong untuk ikut. Namun Kau takdirkan aku tidak memiliki materi yang menguatkanku dalam jihad. Engkau juga menakdirkan tidak ada sesuatu di tangan Rasulullah yang bisa membawaku ke sana. Sungguh aku bersedekah untuk (memaafkan) setiap muslim atas kezaliman yang mereka lakukan padaku, baik pada harta, jasad, atau kehormatanku.”

Ketulusan dan kesungguhan Ulbah menggugah asa. Ia ikhlas terhadap ketentuan Allah atas takdirnya. Namun ia tak berdiam diri, tetap mencari celah agar bisa memberi, walau hanya dengan “sedekah permaafan”.

…Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah….” (HR. Muslim)

Imam Nawawi memaknai potongan hadist tersebut dengan istilah “jangan patah semangat”, sekuat daya melakukan ketaatan dan tidak lemah dari mencari pertolongan.

Adakala diri merasa pesimis atas “ketiadaan”. Berandai-andai jika berpunya pasti bisa memberi. Padahal Qarun dulu juga begitu, memohon dengan mengiba, meminta dido’akan Nabi Musa agar Allah berkenan melimpahkan harta padanya. Tapi nyatanya???Janji tinggal janji, ia lupa berderma saat bergelimang kekayaan.

Adakala diri tak punya kuasa, merasa lemah, sulit menemukan sesuatu yang bisa diperbuat. Mengeneralisir permakluman menjadi hal biasa, hingga berujung pada kemandegan untuk beramal.

Al Junaid rahimahullah berkata: “Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh kejujuran, melainkan ia akan meraihnya, jika ia tidak meraih seluruhnya, ia pasti memperoleh sebagiannya.”

Tak selalu hal besar lahir dari pekerjaan besar. Hal besar juga bisa lahir dari pekerjaan kecil, bahkan boleh jadi sering dianggap remeh. Siapa sangka seorang ibu fakir yang diberi bunda Aisyah 3 butir kurma mendapat apresiasi dari Rasulullah saw.

Ya, bunda Aisyah menyaksikan, ketika sang ibu membagi kurma tersebut kepada kedua anaknya, hingga tersisa satu untuknya. Namun saat ingin memakan kedua anaknya merengek, meminta kembali karena masih terasa lapar. Sang ibu lantas membelah kurma miliknya dan membagi kepada kedua anaknya hingga ia tak mendapatkan apa-apa.

“Dengan perbuatan sang ibu itu, sungguh Allah akan menghadiahkan surga untuknya atau Allah akan membebaskannya dari siksa api neraka.” Demikian Rasulullah saw bertutur.

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Qs. al-Zalzalah: 7).

Ayat ke-7 di surat al-Zalzalah, memotivasi diri untuk tidak mengesampingkan hal kecil, karena boleh jadi memberikan dampak yang besar, baik bagi kehidupan di dunia apalagi di alam keabadian.

Menurut sebagian mufasirin, “dzarrah” diartikan semut kecil atau debu, yang secara kasat jika timbang tak terasa beratnya. Namun bukan berarti ia tak bermakna, bukankah pandang pasir merupakan himpunan dari butiran debu?

Hindarilah neraka, sekalipun dengan separuh buah kurma, dan sekalipun dengan kalimat baik.” (HR. Bukhari)

Pada akhirnya Ulbah meneladani. Memberi tak harus menunggu mampu, karena ruang kabaikan melimpah ruah untuk disemai. Memberi juga tak harus sebagai apa, karena sejatinya kita bukan siapa-siapa.

Melakukan yang mungkin dibisa, sekecil apapun peran tak jadi soal. Kita tidak pernah tahu dari amal mana yang berbuah anugerah, kecilnya biji berubah bongkahan emas.

Waktu tak mau menunggu, kesempatan tak bisa diulang. Ia bagai angin yang akan segera berlalu. Bila tak cepat direnggut ia bukan milik kita lagi.

#Narasiuntuksivilisasi

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.