Inspirasi

Lisan Pengguncang Arsy

0
(0)

Juraij pemuda shalih , Bani Israil pun menyaksikan. Tutur kata dan prilaku erat terjaga. Kesehariannya menyepi, beribadah di rumah peribadatan, di lereng pegununungan.

Tak diduga, Juraij tertimpa kemalangan. Menjadi pesakitan tertuduh mesum bersama wanita lacur. Kemarahan Bani Israil tumpah ruah, menghakimi sang rahib, hingga memberangus tempat peribadatannya.

Juraij bingung, atas fitnah mendera diri. Wanita lacur dan penggembala mengumbar cerita. Bayi dihadirkan, hingga Juraij tersandera. Di tengah keterdesakan, bayi dalam buaian bersaksi “Ayahku adalah si penggembala”.

Tidak pernah ada seorang pun yang masih berada di gendongan (maksudnya bayi) yang mampu berbicara kecuali tiga orang, yaitu: Isa anaknya Maryam, bayi shohibu Juraij dan bayi dalam susuan…” (Hadist Bukhari dan Muslim)

Ketidakmungkinan menjadi nyata adanya, bayi berbicara. Allah turun tangan saat diri tak lagi daya menghempas fitnah. Membuka tabir kedzaliman, hingga kebenaran tetap terang cahayanya.

Bani Israil tertegun, mengaku salah. Membebaskan Juraij dan menghukum wanita lacur bersama penggembala. Sebagai penebus kesalahan Bani lsrail berkehendak membangun kembali rumah peribadatan, namun Juraij menolak dan memaafkan, seraya tersenyum penuh makna keharuan.

Juraij bercerita, teringat akan sang ibu. Beberapa kali ibunya pernah berkunjung ke rumah peribadatannya. Namun Juraij kerap dalam kondisi shalat. Berkali-kali sang ibu datang dan uluk salam, Juraij tak menjawab. Di lubuk terdalam, Juraij sebenarnya gundah, memenuhi panggilan sang ibu atau tetap dalam shalatnya, tetapi ia memilih tak bergeming. Sang ibu kecewa, sambil berlalu terucap kata ” Semoga Allah tidak mewafatkanmu wahai Juraij, sampai wajahmu dipertontonkan dengan pelacur.” ( kisah dinukil dari HR. Bukhari dan Muslim di riwayatkan oleh Abu Hurairah).

Sungguh, Juraij tak pernah menyangka, perkataan ibunya terbukti dengan beredarnya fitnah. Dirinya tersandung dugaan kasus mesum yang ia sendiri tak merasa. Kuasa Allah berbuat atas mau-Nya, menuruti perkataan sang ibu dalam membalas kekecewaan hatinya.

Kisah Juraij, memberi hikmah. Memenuhi panggilan ibu bagian dari berbakti. Menurut Mazhab Hanafi, Mazhab Syafii, dan Hanbali, ketika ibu memanggil anaknya sementara dia tengah shalat, maka anak tidak diharuskan menghentikan shalat ketika yang dikerjakan itu shalat fardhu. Namun, jika yang dikerjakannya adalah shalat nafilah atau shalat sunah, maka dia harus menghentikan shalat dan memenuhi panggilan ibunya.

Imam Nawawi pun bertutur, para ulama mengatakan, “Yang benar baginya adalah menjawabnya karena ia dalam shalat sunah. Sementara melanjutkan shalat sunah itu tidak diwajibkan. Sementara menjawab ibu dan berbakti kepadanya itu wajib. Dan durhaka kepadanya itu haram. Atau memungkinkan baginya mempersingkat shalat dan menjawabnya kemudian kembali menunaikan shalatnya.”

“Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.” ( Qs. Lukman: 14)

Muhammad bin Al-Munkadir pernah menceritakan, “Umar (saudara beliau) menghabiskan malam dengan mengerjakan sholat malam, sedangkan aku menghabiskan malamku untuk memijat kaki ibuku. Dan aku tidaklah ingin malamku diganti dengan malamnya.”

Imam Haiwah bin Syarih tak ketinggalan, dengan ringannya ia bergegas, meninggalkan majelis ilmunya yang sedang dipenuhi khalayak, saat sang ibu menitah “Berdirilah wahai Haiwah, beri makan ayam-ayam itu!”

Begitulah para shalafus shalih meneladani, mengambil berkah dari baktinya kepada ibu. Pepatah surga dibawah kaki ibu tidaklah berlebihan, karena Allah menempatkan keridhaan-Nya, disamping restu seorang ibu dalam kebaikannya .

Pada ibu Allah menitipmu, bertumbuh dalam rahim nan mulia. Menghimpit beban, menanggung lemah dan lelah tak berkesudahan. Kepayahan menghadirkan dirimu dalam balutan luka berdarah-darah, antara hidup dan mati. Namun, ia bahagia, menyambut dalam kesukacitaan. Menatap bening matamu, cukup baginya memudarkan segala kesusahan.

Pada ibu Allah menitipmu, menemani hari-hari dalam buaian ketulusan cintanya. Memberi yang terbaik, agar diri berkembang dan terpelihara. Walau di tengah keterbatasan, ia tetap berupaya. Tak ada kata keluh meski jalan berat dirasa, demi melihatmu riang, berceloteh, lincah kian kemari.

Pada ibu Allah menitipmu. Menjaga dari waktu ke waktu di sepanjang usianya. Tak lengah mengawasi dari mata hingga batinnya. Melantunkan bait do’a agar menjadi perisai bagimu melintasi hidup. Lisannya sangat tajam, membelah langit, mengguncang Arsy, hingga Allah berkenan, kerap mengijabah do’a-do’anya.

Syeikh Abdurrahman as-Sudais, imam besar Masjidil Haram berkisah, ketika kecil ia pernah menabur debu di hidangan yang telah disiapkan sang ibu untuk tamu ayahnya. Betapa marahnya sang ibu saat itu, sampai berucap” Pergi kamu…! Biar kamu jadi imam di Haramain!” Imam yang nada tartilnya banyak disukai orang ini merasa keadaannya sekarang (sebagai imam Masjidil Haram) tak lain adalah berkah dari ucapan sang ibu dulu, bersyukur ia, meski marah sang ibu tetap berkata-kata baik.

Janganlah kalian mendoakan (keburukan) untuk dirimu sendiri, begitupun untuk anak-anakmu, pembantumu, juga hartamu. Jangan pula mendoakan keburukan yang bisa jadi bertepatan dengan saat dimana Allah mengabulkan doa kalian.” (HR. Abu Dawud)

Kasih ibu sepanjang jalan, menerimamu apa adanya, meski kadang dirimu malu atas hadirnya. Ruang maafnya selalu terbuka, meski kadang ucapanmu menusuk-nusuk kalbunya. Tak pernah terlintas dibenaknya menuntutmu membalas atas apa yang pernah ia diberi, karena kau pun tak akan sanggup membayarnya. Cukup bagi ibu menghantarmu mengenalkan pada Sang Pencipta, agar Allah menuntunmu menuju gerbang kebahagiaan dunia-akhirat.

Dari Abu Hurairah RA, “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW menjawab, ‘Kemuidan ayahmu.” (HR Bukhari dan Muslim).

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.