
Epit Rahmayati
(Pena Generasi Cendekia Foundation )
Sang raja merasa tak terima, kala ujung jari terputus saat memotong rusa buruan. Pensehat kerajaan bijak tak henti menghibur, bahwa masih ada sejumput kesyukuran dari peristiwa. Beruntung ujung jari yang terpotong, bukan pergelangan tangan.
Berhari-hari raja muda meratapi diri, serasa tak guna berharta, bertahta dan rupawan, namun memiliki kecacatan. Ia dirundung kesedihan berkepanjangan. Penasehat bijak pun beroleh bulan-bulanan, di bui lantaran petuah tak memberikan kenyamanan.
Bilangan tahun berlalu, raja muda rindu kembali berburu. Bersama penasehat kerajaan pengganti ia begegas menuju hutan baru. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mereka tersesat, memasuki wilayah manusia berdarah kanibal. Tak bisa dielak, keduanya menjadi tawanan untuk persembahan para dewa.
Sang raja tidak lolos uji, berdasarkan standar persembahan. Kecacatan pada ujung jarinya, membuat dirinya dibiarkan hidup dan dibebaskan. Sementara penasehat raja berakhir mengenaskan.
Raja muda menyadari, hikmah baru bisa dipetik, musibah tak selalu buruk. Bila dulu jarinya tak tepotong, habis nyawanya hari itu. Demikian pula penasehat bijak kesayangan selamat dari kematian, masih mendekam dalam bui kerajaan. Jika tidak demikian, tentu ialah yang akan menjadi persembahan.
Kisah cara efektif memberi makna hidup. Mungkin berulang kali kisah dibaca, tapi tak pernah hambar memberi warna. Pun kisah raja muda, mengusik hati saat gundah mendera, terpuruk dalam kemalangan.
Batu sandungan dalam hidup acapkali muncul di sela perjalanan. Apalagi bagi insan pengejar impian baik, tak pernah sepi ranjau merintangi. Bergelut dengan kepahitan jauh lebih banyak dibanding kemanisan, walau keduanya semakna ‘ujian’.
Menelan kepahitan, sama halnya menelan larutan garam. Bila sesendok garam diaduk dalam 50 ml air, tentu rasa akan sangat asin dan cenderung pahit. Namun jika sesendok garam diaduk dalam sebuah telaga, maka meminum airnya akan tetap segar terasa.
Ibarat garam adalah ujian, sementara air dan wadah adalah hati, maka yang jadi soal bukan di perkara ujiannya, namun yang membuat berat-ringan ujian adalah luas sempitnya hati. Ujian sama-sama sesendok, menjadi berbeda rasa saat ditaruh dalam air dengan volume wadah berbeda.
Mengisi kapasitas diri dengan keimanan, bisa memaksa meluaskan kelapangan hati (wadahnya). Hingga pahitnya ujian (garam) menjadi sesuatu yang tak terasa meski ia ada. Dari sini jelas, Imanlah penentu buah ujian.
Berbuah kemuliaan, karena ujian bisa dipahami sebagai bekalan menata hidup lebih berkelas dan sebagai wujud cinta-Nya menghindarkan diri dari prahara yang lebih besar. Sementara berujung hina, ketika ujian disikapi dalam kesempitan dada, larut menyesali, sampai pada titik menuruti keputusasaan, membuka celah nista.
Sudut pandang manusia berbeda dari Sang Pencipta. Manusia melihat terbatas pada kasat mata, sementara Pencipta menjangkau semua dimensi, nyata dan ghaib. Kasih sayang-Nya pun melampaui kasih ibu pada anaknya, maka sebuah kemustahilan Allah menimpakan sesuatu sebagai bentuk kedzaliman kepada hamba-Nya, terutama bagi orang beriman.
” Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Menyisipkan sejumput kesyukuran dalam musibah, bukan berarti pasrah lantas menyerah. Semata untuk menutup celah prasangka tak baik. Membuka ruang kenyamanan agar mental tetap terjaga, sehingga diri mampu berfikir jernih dan cenderung lebih bahagia.
Menyisipkan kesyukuran dalam tiap musibah bagian dari ibadah yang menitah sabar dan syukur dalam satu rangkaian frasa sejajar, sebagai penyeimbang dalam menghadapi urusan.
” Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya . [HR.Muslim]
Sama-sama baik, mau susah atau senang, karakter mukmin idaman. Tanpa beban melenggang bersama iman, sembari meresiliensi diri, menyesuaikan dengan keadaan sulit. Seperti pohon palem, terpaan badai tak membuatnya cepat tumbang, tidak seperti pohon kebanyakan. Strategi pohon palem unik, disamping akarnya yang kokoh, batangnya juga tak berserat, sehingga bisa lentur, meliukan batang kian kemari, mengikuti irama badai. Merunduk sesaat hingga badai berlalu, setelahnya tegak seperti semula.
Pun dengan diri, disamping kokohnya iman sebagai basic , fleksibilitas; (beradaptasi) dengan ujian, membuat diri jauh lebih tenang. Apalagi bagi pejuang kebaikan, poin penting agar mampu berlama-lama membersamai dakwah. Teguh meski gejolak gundah menggayut di setiap lintasan, mengingat janji-Nya adalah keniscayaan, pasti benar adanya.
” Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS Insyirah: 5-6)
Referensi:
- Soni, Hikayat Raja Negeri : Mensyukuri Kemalangan sebagai Peruntungan, ubb. ac. id , edisi 03 Mei 2008
- Suhail, Ahmad, Khusairi, Tafsir Keluarga, 2016, Jakarta, Pustaka Ikadi