Inspirasi

Tegar Dalam Badai

0
(0)

Bila,
Realita tak seindah harapmu
Takdir pun bukan inginmu
Maka, tetaplah bersandar pada kuasa-Nya
Hingga luka tak menyayat kalbu
Dan hampa berujung syahdu

===

Salman Al Farisi ra. sahabat Nabi dari keturunan bangsa Persi, penganut Majusi. Lahir terhormat dengan limpahan kasih sayang. Kecerdasan dan kelembutan hati, menghantarnya pada pencarian Tuhan sejati.

Perjalanannya menuju islam penuh liku. Meninggalkan kemegahan hingga menjadi sahaya. Namun Salman tak peduli, semua terbayar lunas dengan cahaya keimanan yang tergenggam dalam naungan cinta Ilahi.

Salman Al Farisi padanya selalu ada sisi yang menginspirasi. Pernah suatu ketika ia berkeinginan mempersunting wanita Anshar. Maksud diutarakan kepada sang sahabat, Abu Darda’ ra. Betapa senang Abu Darda mendengar berita. Segenap jiwa dibantulah Salman melamar pilihan hati.

Seperti pungguk merindukan bulan, maksud tak sampai. Walaupun Abu Darda berupaya menuturkan keunggulan Salman, lamaran tertolak. Kecenderungan tak bisa ditepis, sang gadis justru lebih memilih Abu Darda sebagai pendamping.

Sungguh bagi kebanyakan lelaki yang mengalami, peristiwa menusuk kalbu. Patah arang, hancur berkeping. Istilah ” kena mental” sangat tepat bila dilekatkan.

Tapi Salman pria shalih nan sejati, dengan ketegaran ia hanya berseru, Allahu Akbar!!! Lantas berujar “Akan kuberikan semua perbekalan persiapanku menikah padamu wahai Abu Darda’ dan aku juga yang akan menjadi saksi atas pernikahan kalian.”

Jika takdir memberi hal lain, bukan yang dimau, tak berarti kegagalan mutlak dan diri tak istimewa. Seperti riak dalam kehidupan, kegagalan akan selalu ada. Maka tak perlu jua belama-lama larut dalam kekecewaan, bawa perasaan, apalagi nelangsa.

Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Suatu waktu akan datang dimana terjadi benturan antara keinginan dan kenyataan. Terkadang Kehampaan menjelma, saat diri tak mampu merespon realita secara bijak. Padahal kita hidup di ‘realita’, bukan pada harapan apalagi ilusi.

Benar, harapan adalah puncak keinginan, cita yang ingin diraih cinta yang ingin disemai. Ia pemicu semangat untuk tetap hidup dan bergerak. Mempertahankan keoptimisan mengejar harapan sebuah keharusan. Hanya diri perlu bersiap, jikalau harapan tak seindah bayangan.

Membahas ekspektasi yang tak sesuai harapan, acapkali menyakitkan. Merasa angan yang ada ditelikung keadaan, betul sangat perih. Seakan diri berada di titik terendah, tak mampu berbuat apapun atas masalah yang menimpa. Sementara sekitar seolah tak peduli meski sekedar untuk mendengar, hingga diri menyerah pada nasib, buntu.

Terkadang sebagian memilih berbuat cela mengakhiri hidup, sebagai langkah pintas pemutus beban. Terlalu naif dan sangat keliru, justru menuai masalah baru. Menanggung urusan lebih besar dan abadi, terlaknat di hadapan Tuhan.

Tragis, membaca simpulan Pusiknas Polri, yang nyatakan bahwa “Data menunjukkan 852 orang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri selama 2024. Pelaku bunuh diri paling banyak berusia 26 sampai 45 tahun yaitu 263 kasus. Mirisnya, jumlah pelaku bunuh diri berusia kurang dari 17 tahun lebih banyak daripada pelaku berusia 17 sampai 25 tahun. [Data aplikasi DORS SOPS Polri periode Januari sampai 19 Agustus 2024″.]

Padahal bukan juga aib, berjumpa dengan masalah dan kegagalan, entah dalam urusan apapun, bersifat pribadi atau terkait hubungan antar manusia. Semua masih bisa diatasi, asal ada i’tikad baik menghampiri Sang Pemilik diri, Allah. Melangitkan asa, menitip pada Dia yang kuasa, dalam do’a dan pengampunan, sebagai pembersih jiwa. Boleh jadi ada yang terlalaikan dalam prosesnya.

Mengulik hikmah sebagai tanda kasih sayang-Nya adalah bijak. Walaupun terkadang tak kasat mata dan kerap datangnya diujung. Terpenting berupaya dahulu menghadirkan sejumput kesyukuran dalam setiap kegagalan hidup, guna menghindar dari lautan prasangka buruk. Sejatinya Allah tak pernah mendzalimi hamba-Nya. Selalu ada maksud saat menghadirkan peristiwa.

“Tiada musibah yang menimpa bumi dan tidak pula menimpa dirimu melainkan tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu di sisi Allah sangat mudah.” (Al Hadid:22)

“Supaya kamu jangan berputus asa atas sesuatu yang hilang dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al Hadid:23)

Lelaki dalam kemah, terbaring lemah. Kaki tangan terputus tak bertenaga, telinga dan mata pun tak berdaya. Hanya lisan masih bisa bekata. Terlantun dzikir penuh rasa syukur, meski keadaan dibilang tak mujur.

“Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat memuliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.”

Abdullah bin Muhammad tertegun, apa yang membuat sang lelaki begitu larut dalam kesyukuran, tak habis fikir benaknya menyoal. Sungguh jawaban tak terduga saat ia bertanya. “Tidakkah engkau melihat Dia telah menganugerahkan aku lisan yang masih berfungsi? Selain itu, aku juga memiliki anak yang selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun, sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?” Tutur lelaki dalam kemah.

Malang tak dapat ditolak, sang anak ditemukan Abdullah bin Muhammad tewas dimangsa binatang buas. Dengan kehati-hatian disampaikan berita. Lelaki dalam kemah hanya berkata, “Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga ia di azab di neraka.” Kemudian ia menghela nafas, hembusan terakhir.

Berkaca pada Abdullah bin Zaid al-Jarmi, lebih dikenal dengan Abu Qilabah, lelaki penghuni kemah. Sahabat yang banyak meriwayatkan hadist dari Anas bin Malik ra. Padanya kita belajar, memaknai kesyukuran dengan prinsip in spite of (walaupun). ‘Walaupun’ kehidupan tak memberi kenyamanan, masih bisa mencari celah peluang kebaikan darinya.

Berdamai dengan realita menjadi satu pembuka jalan, tidak mudah tapi bisa dicoba. Mengulik celah dari keterpurukan ibarat berada di titik nol dalam garis bilangan. Hanya ada dua kemungkinan, berjalan menuju kutub negatif dengan membiarkan stress berkepanjang, kegilaan bahkan na’ udzubillah sampai bunuh diri.

Atau alterlatif lain, bergerak menuju kutub positif. Menjadikannya keterpurukan sebagai momentum titik balik, membuat diri lebih berkelas. Mengambil hikmah dari yang tersisa, sebagai bekalan menata hidup jauh lebih baik, dengan menyandarkan ketergantungan hanya kepada Sang Maha Hidup dengan segala kekokohan kekuatan-Nya, Allah swt.

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah :5)

#Narasiuntuksivilisasi

Referensi:

  • Khalid, Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, 2004, Bandung, CV Penerbit Diponegoro.
  • Abu Qilabah Sahabat Nabi yang Mengajarkan Beryukur dan Bersabar Al Manhaj or. id,
  • Bunuh Diri, Gangguan Masyarakat dengan Jumlah Kasus Terbanyak ke-4, pusiknas.polri.or.id
  • Marpaung, Parlindungan, Fulfilling Life; Merayakan Hidup yang Bukan Main!, 2007, Bandung, MQ Publishing.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.