
“Berapa total jama’ah yang berhaji tahun ini?” Bertanya salah satu malaikat yang turun ke bumi.
“600.000 jama’ah, namun tak satupun yang diterima ibadah haji mereka!” Seru yang lainnya.
” Kenapa demikian?”
” Itu kehendak Allah!”
Gemetar Abdullah ibnu Mubarak ulama sufi asal Kuffah mendengar percakapan tersebut. Resah menghantui, membayangkan ribuan jama’ah dari belahan dunia. Berpayah-payah dalam letih dan sulit, menyusuri padang tandus menghampiri Baitullah. Duhai benarkah? Serasa sia-sia pengorbanan yang dipersembahkan dalam persiapan maupun proses menjalani ibadah haji, termasuk dirinya. Sesak dadanya tak mampu menahan takut.
” Namun, ada satu orang diterima hajinya dan diampuni dosanya walaupun ia tidak berangkat untuk berhaji. Dan berkatnya semua jama’ah yang ibadah haji tertolong hingga Allah akhirnya berkenan menerima ibadah haji orang-orang yang menunaikan haji tahun ini!”
“Siapa ia?” Tanya malaikat yang lain.
“Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Dimasyq (Damaskus).” Jawab malaikat.
Abdullah ibnu Mubarak terjaga dari tidurnya. Percakapan dua malaikat dalam mimpi mengusik diri. Mimpi bagi orang shalih, dengan kapasitas keimanan mumpuni ditengarai menjadi sebuah isyarat hingga ia dapat memetik hikmah. Pun demikian dengan Abdullah ibnu Mubarak. Usai menyelesaikan ibadah haji, ia bertekad mencari tahu siapa lelaki yang disebut dalam dialog antar malaikat tersebut.
Tak sulit menemukan Ali bin Muwwafaq. Tukang sol sepatu ini cukup dikenal dengan pekerti baiknya.
” Wahai pemuda, gerangan apa yang menyebabkan Allah menerima hajimu mabrur, padahal engkau tidak berangkat haji?” Tanya Abdullah ibnu Mubarak setelah berbasa-basi. Lelaki berpakaian lusuh dengan seperangkat alat sol bertengger di sisinya terlihat bingung. Beberapa saat terdiam, lantas sekelebat ingatannya tertuju pada sang istri yang tengah mengandung.
” Wahai syeikh , bertahun-tahun aku menyisihkan sebagian uang untuk berhaji dari pendapatan hasil usahaku. Harusnya memang tahun ini aku berangkat. Namun sebelum hari keberangkatan, istriku yang tengah hamil muda mencium aroma masakan menggoda. Kemudian ia memintaku untuk mencari sumber makanan tersebut karena ingin mencicipi.
Setelah kutelusuri, kudapati di dalam sebuah gubuk yang hampir roboh seorang ibu sedang memasak sejenis sup, dengan enam orang anak turut mengelilinginya. Aku izin meminta sedikit masakan untuk istriku. Namun sang ibu menolak. Aku memohon karena kondisi istriku. Sang ibu justru berurai airmata.
” Bukan aku tak mau memberikan, tapi makanan ini haram buatmu tuan, sementara halal bagi kami!” Sambil mengusap butiran bening di sudut matanya, sang ibu bercerita yang dimasaknya adalah keledai mati yang ditemukan di jalan. Ia terpaksa melakukan, karena sudah tak tega melihat anak-anaknya kelaparan.
Tak kuasa aku melihat penderitaan janda tersebut dengan enam anaknya. Kuceritakan pada istriku, kemudian kami bersepakat mengantarkan makanan untuknya sekaligus memberikan seluruh tabungan haji sebesar 350 dirham untuk modal agar dapat digunakannya sebagai usaha demi kelangsungan hidup bersama anak-anaknya.” Bercerita Ali bin Al Muwaffaq.
Abdullah ibnu Mubarak terkesima. Tak terbendung kesedihan bergayut dalam sanubarinya. Uang 350 dirham inilah rahasia amal kebaikan tukang sol sepatu yang dipuji para malaikat dan diperdengarkan dalam mimpinya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan.Dan malu itu termasuk bagian dari iman.
( HR. Bukhari)
Ragam ruang beramal sangat luas, dengan tingkatan dan skala prioritasnya. Memperlakukan setiap amalan, besar atau kecil tetap dalam kerangka ikhlas dan benar serta kesungguhan melakukannya menjadi satu acuan. Penyertaan niat dan keikhlasan berfaedah sebagai pereda letih yang mendera, sekaligus upaya menjauhkan dari kesia-siaan dalam beramal.
Mengutip apa yang ditulis K.H. Rahmat Abdullah dalam memaknai keikhlasan bahwa “Betapa mengerikan keterasingan pengamal yang selalu saja dihantui apa kata orang. Sunyi terdampar di gurun riya’, tersungkur di jurang ujub, segala kemuliaan ada di sana, kecuali takut kepada Allah.”
Sungguh, diri tak akan pernah mampu menebak darimana kelak sebuah amal menjadi investasi terbaik yang layak diterima di sisi Allah. Teramat banyak diri tertipu, terkecoh atas sebuah amalan. Selayak putra Harun Ar Rasyid, yang bermimpi sang bunda, Zubaidah setelah wafatnya. Dilihatnya sang bunda dalam rupa elok dan keadaan baik. Sang putra menyangka keadaan itu merupakan buah dari amalan sang bunda yang pernah membantu serombongan jama’ah haji yang kesulitan dalam kedahagaan yang luar biasa. Saat itu tersentuh hati sang bunda dan menginfakan sebagian harta dalam jumlah yang cukup besar. Namun sang bunda menampik, amalan itu tertolak karena ternodainya keikhlasan.
Saat malam sang bunda biasa bangun. Menatapi langit, memuji kebesaran Allah. Kemudian dilanjut menegakan sholat dua rakaat. Di tengah kesunyian disaksikan bintang gemintang. Maha Suci Allah, ternyata amalan inilah yang justru memberikan manfaat pada sang bunda.
” Ada orang yang sangat sederhana dalam beramal, dengan ketulusan tiada tara. Pujian tak membuatnya bertambah gairah dan celaan tak menghambatnya dari meningkatkan amal kebajikan.” ( K.H. Rahmat Abdullah)
Referensi:
- Al Qarni, Aidh bin Abdullah, Obat Penyakit Hati, 1994, Jakarta, Pustaka Al Kautsar
- Abdullah, Rahmat, Untukmu Kader Dakwah, 2004, Jakarta, Pustaka Da’watuna