
Siapa yang tak pernah kecewa? Sepertinya setiap kita pernah merasai. Marah, terluka dan benci pada keadaan, gambaran jelas dari kekecewaan. Melemahnya hasrat setelah menguat adalah kelumrahan yang sering terjadi.
Kecewa merupakan ketidakpuasan hati karena tidak terwujudnya harapan atau keinginan. Ibarat tak ada asap tanpa api , sumber kekecewaan selalu ada. Ekspektasi yang tak sesuai realita pemantik hadirnya kekecewaan, apapun itu wujudnya.
Adalah Khalid bin Walid, penyandang julukan “Syaifullah” (Pedang Allah). Reputasinya dalam memimpin pasukan perang bukan kaleng- kaleng. Kemenangan demi kemenangan diraih kaum muslimin di bawah komandonya. Berbagai syair pujian mengelu-elukan kepiawaian sang panglima bergema di antero negeri.
Kariernya dimulai dari perang Mu’tah saat melawan Romawi pimpinan Heraklius. Sinyal pengangkatan Khalid sudah diisyaratkan dalam Nubuwwah, sebagai pelipur duka, saat tiga panglima islam menemui kesyahidannya di Mu’tah.
Bersabda Rasulullah SAW:
” Panji perang ditangan Zaid bin Haritsah, ia bertempur hingga menemui ajalnya, kemudian diambil Ja’far, hingga ia bertempur dan ikut gugur. Kemudian giliran Abdullah ibnu Rawahah, yang terus maju hingga syahid juga menemuinya, kemudian panji itu diambil oleh suatu pedang dari pedang Allah, lalu Allah membuka pintu kemenganan dari tangannya”. (Khalid Muhammad Khalid, 2004)
Di perang Yarmuk Saat kondisi genting, tetiba datang utusan mengabarkan khalifah Abu Bakar wafat, sungguh pukulan berat bagi Khalid. Keterkejutan berlanjut, Umar bin khatab sebagai pengganti Khalifah, mencopot kepanglimaan Khalid.
Mandat diterima. Berupaya tenang meski hati bertanya kenapa? Bermunajatlah Khalid, memohon rahmat atas Abu Bakar dan taufik bagi Umar. Kemudian dengan penuh tanggungjawab ia melanjutkan perang sampai kemenangan diraih. Setelahnya ia menyampaikan apa yang menjadi maklumat Umar pada pasukannya.
Pelengseran terjadi bukan lantaran kecacatan prestasi Khalid. Tidak juga karena unsur like and dislike Umar bin Khatab pada sang Panglima. Kekhawatiran akan potensi tercemarinya akidah kaum muslimin dari figuritas seorang Khalid, menjadi dasar utama keputusan Umar.
“ Sungguh aku tidak mencopot Khalid bin al-Walid karena marah atau dia berkhiatan. Tetapi manusia telah terfitnah dan aku ingin mereka tahu bahwa Allah-lah yang membuat kemenangan”. (Suara Islam online, 2021)
Bagaimana reaksi Khalid? Kecewa atas putusan Umar? Lantas sesumbar dari ketidakadilan yang menimpanya? Atau menggiring pasukan untuk memberontak Umar? Semua itu tidak ada dalam pikiran sang Panglima, padahal ia mampu melakukannya.
Sejarah kemudian mencatat dengan tinta emas, bahwa Khalid tetap konsisten memberikan wala’(loyalitasnya) yang tinggi. Sementara Abu Ubaidah bin Jarrah ditunjuk Umar sebagai Panglima menggantikan Khalid
Kecewa tentu menyakitkan. Namun memelihara kekecewaan, lebih menyakitkan lagi. Bak duri dalam daging. Meresahkan, menggerogoti kesehatan mental hingga terhentinya diri dari beramal.
Kita tak kuasa mengubah arah angin. Sedikit memutar haluan adalah kemungkinan yang bisa diperbuat, agar kapal tetap berlayar. Pun demikian, mengganti sudut pandang dalam menyikapi rasa kecewa dapat mendulang hikmah yang belum terjamah.
Terlebih jika menyisipkan keyakinan segala terjadi atas kehendak-Nya. Stimulan ini mampu membuka hati untuk ridha menerima, hingga jiwa menjadi tenang karenanya.
“ Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Qs. Al Baqarah: 216)
Mengelola rasa kecewa, tidak diartikan kepasrahan yang pasif. Ini justru memunculkan sikap kontraproduktif. Harapannya, bersikap terhadap rasa kecewa dengan tensi sewajarnya, kemudian mengolahnya menjadi kekuatan diri untuk jauh lebih berkualitas.
Ketika diri kecewa dengan realitas. Entah dari kenaifan sekitar dalam menghargai atau kejulidan khalayak tehadap prestasi. Maka, berupaya tegar satu solusi.
Mengevaluasi dan berbenah diri. Cukup Allah sebagai penilai sejati. Dimana, kapan dan sebagai apa kelak Ia memberi kelayakan bagi diri. Allah tak pernah keliru membuat momentum. Jadi tak perlu jua berpayah- payah mengemis kepada pandangan dan persetujuan insan, karena ia penuh keterbatasan.
Bila hati sudah mantap berdiri di atas kebenaran, berbuat sajalah,
Dan siapkan ruang di hati seluas mungkin jika pada akhirnya air susu dibalas air tuba.
Referensi:
- Khalid, Muh, Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, 200r, Bandung, CV Penerbit Diponegoro
- Suara Islam [dot] co [dot] id, Memutus Kultus; Pelajaran Tauhid dibalik Pencopotan Khalid bin Walid, edisi 24 Agustus 2021