Inspirasi

Mental Kaya

5
(1)

Seekor burung kecil terjatuh dari ketinggian. Malang sayapnya sebelah patah, hingga ia tak bisa kembali terbang. Kejadian tersebut mengusik Syaqiq al Balkhi yang tengah beristirahat.

Sang sufi tertarik mengamati lebih lanjut, namun tak lama berselang seekor burung lain datang menghampiri burung yang terluka sambil menyodorkan belalang mati dengan paruhnya. Syaqiq al Balkhi semakin terkesima, sungguh pelajaran berharga ia dapati dari sekawanan burung.

“Sejak itu aku memfokuskan hidupku hanya untuk beribadah khusus kepada Allah, karena aku yakin Allah tidak akan menelantarkan rezekiku, sama halnya seperti burung kecil yang terluka.” Jelas Syaqiq al Balkhi saat ditanya Syeikh Ibrahim bin Adham tentang perjalanan spiritual Syaqiq yang terlihat lebih sering berdiam diri di rumah peribadatan.

Ibrahim bin Adham diam sejenak mencermati kisah yang dituturkan, kemudian berkata “Wahai Syaqiq, kenapa engkau tidak meniru burung yang sehat? burung yang datang dengan kasih sayang, memberikan pertolongan kepada makhluk lain yang membutuhkan?”

“Tidakkah kamu pernah mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima? Dan bukankah di antara tanda seorang mukmin yang sejati adalah keinginannya untuk mendapatkan salah satu dari dua derajat yang lebih tinggi dalam berbagai hal, sehingga ia mencapai tingkatan Al-Abrar (Orang yang benar baktinya)?” Lanjut Ibrahim bin Adham.

Mendengar ucapan saudaranya, Syaqiq mencium tangan Ibrahim seraya berseru “Engkau adalah guruku.” (Kisah dikutip dari Hikayat Imam Ibnu Jauzi)

Memetik ketawakalan burung yang cedera tak selalu salah, celah berikhtiar bagi burung terluka sudah diambang keterbatasan. Namun bila ruang memilih masih ada, meneladani burung pemberi jauh lebih berkesan dan elegan.

Dalam proses ‘memberi’ orang cenderung lebih terasa berat dibanding ‘menerima’. Butuh effort mengolah rasa, menimbang keadaan saat memutuskan untuk memberi, apalagi memberi tanpa syarat.

Meminjam istilah Stephen Covey “dari dalam ke luar” dalam buku The 7 Habits of Highly Effective, kekuatan memberi kebaikan berupa amal luaran yang nampak, lahir dari kemurahan hati (amalan dalam). Tentu kemurahan hati tidak muncul ujug- ujug, ia berangkat dari konsistensi penerapan nilai spiritual Ilahiyah berupa rasa kesyukuran atas kondisi apapun yang menimpa, kaya-miskin, lapang-sempit.

Berapa banyak orang tampak terlihat kaya, tetapi jiwa miskin. Selalu merasa kurang, kemaruk merasa takut kehilangan atas apa yang dipunya hingga menempuh cara batil. Bukankah kasus korupsi, eksploitasi brutal, pemerasan berkedok hadiah banyak diperankan oleh orang yang terlihat ‘kaya’?

Dan bukankah selalu ada orang bermental kaya meski secara kasat miskin? Dalam keterbatasan, kesempitan, dan ketiaadaan tetap menjaga harga diri, bertahan untuk tidak meminta. Ia berusaha semaksimal yang dibisa, walaupun pada akhirnya butuh pertolongan ada harga yang tetap dibayarkan, minimal beretika baik sebagai penerima. Uniknya justru orang seperti ini adalah orang-orang yang biasanya siap untuk memberi, berlapang-lapang menyemai kebaikan.

Adilnya Allah, mencipta dua kondisi berkebalikan sebagai ujian hidup; kaya-miskin, lapang-sempit. Dua situasi yang tidak dilihat semata bahwa si kaya bahagia si miskin sengsara. Namun lebih dari itu, kondisi apapun yang dilalui berpeluang untuk bisa memberi kebaikan dan memperoleh kebahagiaan atasnya. Semua berpulang pada kekuatan mental, apakah diri bermental kaya atau bermental miskin? Karena pada hakikatnya keberlimpahan akan didapat saat kita memberi bukan menerima, dan untuk memberi diperlukan mental kaya bukan sekedar orang kaya.

#Narasiuntuksivilisasi

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.