
Ia menyusuri jalan, dalam hening di pekat malam. Tekad mencari sosok penerima sedekah secara senyap, dimaksudkan agar niat tetap tegak sempurna, wujud ketulusan dalam memberi.
Tiga malam bertuturut-turut, lelaki itu merasa sedih. Alih-alih menyembunyikan sedekah tanpa tahu penerimanya, justru ia merasa terkecoh. Ekspektasi tak sesuai harapan, niat baik seolah terabai. Sedekah diterima bukan pada tempatnya.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Seorang laki-laki berkata, “Sungguh aku akan bersedekah.” Lalu dia pergi membawa sedekahnya. Dia meletakkannya di tangan pencuri. Di pagi hari orang-orang membicarakannya, “Seorang pencuri di beri sedekah”.
Dia berkata, “Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Sungguh aku akan bersedekah.” Lalu dia pergi membawa sedekahnya dan meletakkannya di tangan wanita pezina. Di pagi harinya orang-orang membicarakan. ” Malam ini seorang pezina diberi sedekah”.
Dia berkata, “Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Sedekahku jatuh di tangan wanita pezina, sungguh aku akan bersedekah”.
Lalu dia pergi membawa sedekahnya dan dia meletakkannya di tangan orang kaya. Di pagi hari orang-orang membicarakannya, “Seorang kaya diberi sedekah.”
Dia berkata, “Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Kepada pencuri, wanita pezina, dan orang kaya sedekahku berlabuh.”
Lalu dia didatangi dalam mimpi dan dikatakan kepadanya,
” Adapun sedekahmu kepada pencuri, semoga itu membuatnya insyaf dari mencuri. Adapun wanita pezina, semoga itu membuatnya sadar dari zinanya. Adapun
orang kaya, maka semoga dia mengambil pelajaran dan dia berinfak dari apa yang Allah berikan kepadanya.” (Kisah dinukil dari Hadist Bukhari dan Juga Muslim dalam Kitabuz Zakat)
Berita menyebar beriring hembusan angin. “Kebodohan” sang lelaki akibat salah sasaran memberi sedekah menjadi buah bibir di pelosok kampung. Namun mubasyirat ( berita gembira), didapat lelaki tersebut dalam mimpinya, sebagai pelipur gundah.
Niat baik, adakalanya tak bersambut baik dari persepsi insan. Namun demikian Allah Maha pengasih, lebih luas rahmat-Nya. Selagi niat dan proses menjalani amal terpelihara dalam keikhlasan dan kaidah yang benar, cukup sudah membebaskan pelaku dari hasil yang diupayakannya. Rasulullah bersabda:
“ Dari Ma’an bin Yazid -semoga Allah meridhainya-, ia berkata: Adalah ayahku mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan. Lalu ia meletakkan dinar-dinarnya itu dititipkan kepada seseorang di masjid. Lalu aku (Ma’an yang merupakan orang miskin) pun datang. Maka aku pun mengambil dinar-dinar tersebut. Dan aku datang kepada ayahku membawa dinar-dinar tersebut. Maka ayahku berkata: ‘Demi Allah, bukan kamu yang aku inginkan’. Maka aku mengadukan ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Kamu sudah mendapatkan niat kamu Hai Yazid. Dan kamu sudah mendapatkan apa yang kamu ambil Hai Ma’an.”
Hasil bagian takdir yang tak terjamah dalam pandangan sebelumnya. Manusia hanya diminta ikhtiar, doa dan tawakal. Kemudian menyelaraskan dengan keridhaan ketika semua upaya telah terjadi.
Kebaikan tetaplah menelurkan kebaikan, demikian juga keburukan. Masing-masing berdiri pada tempatnya, bila tidak membaurkan satu sama lain saat prosesnya. Kalau pun pencampuran baik-buruk tak terelak, kutub terkuat yang akan mewarnai.
” Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri”. (Qs Al Isra:7)
Tetap menjadi baik, walau sekitar tak tampak baik-baik. Berat memang, jika bersandar pada orientasi kehidupan semata. Ruang tuntutannya besar, segera minta diselesaikan. Sementara jalan cara Tuhan, perlu kesabaran dan mata batin dalam menempuhnya.
Bekas kebaikan selalu tampak nyata, meski hasil tak selalu langsung dilihat usai melakukan kebaikan. Perlu banyak waktu, kadang diri pun akhirnya lupa dengan kebaikan yang telah diperbuat. Bahkan boleh jadi hasil kebaikan baru muncul dipermukaan manakala yang memberi kebaikan sudah berkalang tanah, karena umur kebaikan lebih Panjang dari si pemberi kebaikan.
Istilahnya tak ada yang sia-sia saat menebar benih kebaikan. Walau sebutir biji sawi yang ditanam, selalu ada arti, punya makna. Allah Maha mengawasi (Ar Raqib), semua dalam pantauan-Nya. Ganjaran diberi bersesuaian dengan niat tulus dalam berbuat.
Ketika orang berteriak di area luas dan berdinding, seperti goa atau tebing, kata yang keluar dari lisan akan kembali terdengar jelas oleh si empunya sama persis apa yang di teriakan, ini yang disebut gema. Selayak teori gema, perbuatan akan berbalik memantul kepada pemiliknya, sesuai dengan yang dilakukan. Tak perlu risau menebar kebaikan, semua akan kembali dalam wujud kebaikan pula. Meski rupa kebaikan yang dimau tak sama persis apa yang kita inginkan.
Dalam berkehidupan, ruang menebar kebaikan terbuka luas, meski hanya menyingkirkan duri (rintangan) dijalan, masuk bagian darinya. Artinya semua berpeluang bagi manusia untuk menjangkaunya. Namun kalau pun pada akhirnya belum mampu menebar kebaikan, berupaya menahan diri untuk tidak membuat susah orang lain, adalah wujud kebaikan jua.