Inspirasi

Agar Allah Menutup Aibmu

5
(1)

Sontak suasana makan bersama daging unta menjadi hal yang tak menyenangkan lagi. Di tengah asyiknya menyantap tetiba tercium aroma yang kurang sedap dan tak mengenakan. Para sahabat memang tidak ada yang protes atas kelepasan flatus (buang angin) salah satu diantara mereka. Namun beberapa tampak raut tak nyaman akan datangnya pengganggu gaib penurun selera makan menjelang shalat maghrib.

Nabi SAW sangat menyadari kondisi, empatinya yang tinggi merasai betul pada sosok sahabat yang tidak sengaja buang angin di acara yang cukup sakral tersebut. Pastinya akan sangat malu bila jujur mengakuinya. Mendekati adzan, Rasulullah SAW mengajak para sahabat untuk berwudhu kembali.

Mendengar himbauan Nabi, segera semua sahabat yang terlibat makan daging unta berdiri dan melakukan wudhu, tanpa terkecuali. Selamatlah wajah sahabat yang buang angin.

Berwudhu setelah makan daging unta, bukan berarti secara otomatis membatalkan wudhu para sahabat, anjuran lebih ditujukan cara bijak Rasulullah dalam bersikap menutup aib seseorang dalam kasus tersebut.

Untuk prihal sekecil ini saja Rasulullah sangat mewanti- wanti terhindar dari candaan dan gurauan, agar tidak terdampak “bullying ” bagi seseorang.

Mengapa kalian mentertawakan buang angin yang kalian juga biasa mengalaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lagi pula urusan ini menyangkut fisiologis tubuh manusia, yang dicipta karena ada fungsinya. Buang angin sangat dinanti bagi orang pasca menjalani operasi, sebagai penanda sistem pencernaan telah kembali normal untuk digunakan, hingga ia diperkenankan makan.

Istimewanya islam, sangat menyeluruh dalam konsep sebuah ajaran. Mulai urusan negara sampai urusan buang angin menjadi kepeduliannya. Islam paham urusan hajat hidup manusia saling terkait, mau besar atau yang remeh- temeh. Semua berpotensi merusak tatanan kenyamanan hidup jika tidak terkelola dan tertuang dalam sebuah pedoman.

Namun narasi bukan ditujukan untuk mengupas tuntas prihal buang angin semata. Menilik prilaku Nabi dalam menutup aib sahabat menjadi hal yang dimau.

Aib bagi semua, inginnya pasti tersimpan rapat dalam lubuk sanubari, cukup diri dan Allah saja mengetahui. Bagai nila setitik rusak susu sebelanga, terkadang aib akan menjadi bumerang bagi pemiliknya. Apalagi bila terkuak di mata khalayak. Tak jarang, seseorang yang selama hidupnya memberi kesan baik, gegara aib kecil atau kesalahan akibat khilaf, dibuat framing negatif secara masif, karena adanya sentimen. Aib dilabeli pada personal bukan pada “prilakunya” lagi, hingga seolah meniadakan kebaikan banyak yang telah dipersembahkan.

Tak ada manusia yang terbebas dari kesalahan, kecuali Nabi SAW yang maksum. Potensi menuai aib selalu ada. Bahkan kalau bukan Allah yang menyembunyikan aib manusia, tentu sudah tak terhitung kesalahan yang mencoreng. Andai itu dikonversi dalam wujud sebuah benjolan, teramat ngeri membayangkan rupa diri.

Menyadari satu sama lain tak pernah terhindar dari aib, islam mengedepankan adab untuk saling menutup mata, telinga dan lisan pada setiap aib yang ada pada orang lain, apalagi saudara seiman.

Dasar ini jua, yang diajarkan islam dalam berkunjung ke rumah seseorang. Datang dengan mata dan telinga tertutup, pulang dengan lisan yang terbungkam.

“Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat.” (HR. At Tirmidzi)

Benar, adakalanya lisan diminta menujukan aib saudara seiman agar tidak berkembang menjadi sebuah kesalahan permanen, apalagi bila disengaja. Sangat perlu ruang nasehat- menasehati, namun ini pun ada bab lain dengan adab yang menyertainya.

Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berkata, “ Sesungguhnya Mukmin itu akan senantiasa menutupi dan menasihati; sedangkan orang munafik dan pendosa senantiasa akan membuka aib serta mencela.”

Urusan aib, hal yang antusias untuk dibahas. Renyah diperbincangkan seolah menjadi lumrah. Terlepas yang diumbar adalah riil atau hanya sekedar hoaks .

Guna mempersempit celah, selain menutup aib orang lain, terlebih dahulu Allah dan Rasul meminta manusia menutup aib diri, agar tidak menjadi konsumsi publik hìngga menstimulan orang lain turut serta menyebar luaskan aib diri.

Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR Bukhari Muslim)

Referensi:

  • Muhammadiyah.or.id, rubrik hikmah, Begini Respon Rasullah SAW Ketika Ada Sahabatnya yang Buang Gas, edisi November 2023
  • Djafri, Novriyanti, Larangan Mengubar Aib Diri Sendiri dan Aib Orang Lain, fip.ung.ac.id, edisi 8 Agustus 2023

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *