
Epit Rahmayati
(Pena Generasi Cendekia Foundation)
Rasa bagian yang tak terpisah dari jiwa. Bahagia, kecewa, resah dan berbagai warna emosi lain memenuhi ruang hati manusia. Hidup dan rasa bagai sisi tak terpisah. Berani hidup berarti berani merasa.
Sesuatu yang menyenangkan, tentu mudah dirasai. Secara fitrah manusia selalu siap menyambutnya. Beda cerita untuk rasa menoreh luka, butuh kekuatan extra dalam menyikapi.
Muara luka yang menggores batin tentu berasal dari banyak arah. Dari masalah sepele sampai hal yang membuat jiwa ingin lari menjauh. Singgungannya juga beragam, dari rasa tak nyaman akibat gesekan antar individu maupun kolektif.
Istilah luka batin, ungkapan yang cukup trend menyebut rasa-rasa tak nyaman, yang terpelihara dan bersarang lama di sanubari. Sulitnya membebaskan hati yang patah arang, membuat diri runyam tak bersemangat, bahkan tak jarang memunculkan kelemahan pada fisik akibat stress berkepanjangan.
Penelitian dari Columbia University Irving Medical Center menemukan bahwa memendam perasaan marah dan benci terus-menerus berdampak signifikan pada pembuluh darah, yang menjadikannya ‘kardiotoksik’.
Hal senada diungkap Journal of American Heart Association, emosi kemarahan singkat yang dipicu oleh mengingat pengalaman masa lalu dapat berdampak negatif pada kemampuan pembuluh darah untuk rileks.
Studi observasional ini menyatakan gangguan kemampuan pembuluh darah meningkatkan atherosklerosis ( penumpukan lemak dan zat lain di dinding arteri) yang beresiko terhadap serangan jantung dan stroke. [1]
Dari Anas bin Malik bercerita ketika kami duduk bersama Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Akan datang kepada kalian sekarang seorang calon penghuni surga.” Tiba-tiba datang seorang Anshar yang air bekas wudhunya menetes dari janggutnya. Ia mengikatkan sandal pada lengan kirinya.
Keesokan harinya Nabi SAW bersabda seperti itu lagi. Tiba-tiba datang lelaki yang sama dengan sebelumnya.
Hari ketiga jua demikian, dan yang lewat lagi-lagi lelaki kemarin dalam keadaan seperti ketika hari pertama. (HR. Ahmad)
Kejadian tersebut menggelitik Abdullah bin Amr untuk menelisik lebih lanjut sosok yang memesona Nabi SAW. Demi memuluskan aksinya, Abdullah bin Amr merencanakan alasan agar dapat bermukim di kediaman sang pemegang rekomendasi surga.
‘Abdullah (ibn ‘Amr) berkata: “Setelah lewat tiga hari dan aku hampir saja menganggap remeh amalnya aku berkata: …”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda tentang kamu tiga kali: ‘Akan datang kepada kalian sekarang seorang calon penghuni surga’. Lalu ternyata anda yang datang pada ketiga hari tersebut.
Aku bertamu di rumah Anda bermaksud melihat amal Anda agar aku bisa meneladani. Lalu apa yang istimewa dari Anda sehingga Rasulullah memuji anda?” Ia menjawab: “Tidak ada selain yang anda lihat.”
Setelah aku (Ibn ‘Amr) keluar, ia memanggilku: “Tidak ada selain yang anda lihat, kecuali mungkin aku tidak merasakan dalam diriku kotor hati dengan memaafkan kesalahan seorang muslim manakala mereka khilaf padaku dan aku tidak pernah dengki kepada seorang pun yang Allah berikan kebaikan kepadanya.” ‘Abdullah berkata: “Inilah keistimewaan yang anda miliki!”
Self healing berupa pemulihan jiwa melibatkan kekuatan dari diri sendiri sebagai upaya bangkit dari permasalahan psikologis. Self healing lebih pada pengeluaran perasaan dan emosi terpendam di hati tanpa bantuan obat atau orang lain.
Beragam cara dapat dilakukan sebagai bentuk self healing dengan tujuan menciptakan emosi positif untuk memunculkan endorfin atau hormon bahagia.
Maha Suci Allah, dengan segala kesempurnaan-Nya, menghadirkan islam sebagai pedoman lengkap dalam membidik setiap permasalahan yang melingkupi diri manusia. Tak ada kealfaan, solusi merambah semua sisi.
Pun dalam membasuh luka batin, yang sering menghinggapi manusia. Beragam cara islam menawarkan; dzikir, tafakur, khalwat, doa, muhasabah ( evaluasi diri), tilawah, dan lainnya. Dimana semua menginduk pada ritual besar ibadah utama, yakni shalat.
Relaksasi jiwa dari penatnya perjalanan hidup yang penuh intrik saat berinteraksi, memulihkan rasa kembali ke titik nol. Mengevaluasi diri menjadi bagian dari sentuhan penghalus jiwa bagi hamba.[2]
Sosok tanpa nama peraih golden tiket surga hadir memberi hikmah. Tak perlu mengembara mencari setitik dahaga bernama bahagia dan ketenangan hidup. Semua ada di sini, di lubuk hati sendiri.
Berdamai dengan hati, memaafkan dan mengikis rasa dengki. Menyingkirkan rasa-rasa tak nyaman dengan menempuh jalan terapi hati yang bersumber pada Dia, Allah, Maha Pengasih Maha Penyayang.
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” ( Qs. Ar Rad: 28)
#Narasiuntuksivilisasi
Referensi:
- Detikhealth.com edisi 02 Mei 2024
- Ahmad Ar Rasyid, Muhammad, Pelembut Hati, 2023, Jakarta, Rabbani Press