
Dia telah membunuh genap 100 jiwa! Kekejian mana lagi yang lebih dasyat dan sulit ditolerir hati nurani. Namun manusia tetaplah manusia, tak bisa memungkiri fitrah. Sekecil apapun celah, keresahan tetap ada. Terbelenggu rasa bersalah, menghantui di setiap sepinya.
Berkisah Rasulullah SAW. Dari Abu Sa’ad Ibnu Malik Ibnu Sinan Al Kudri RA. “Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.
Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”
Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.”
Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat. (HR. Bukhari- Muslim)
Dalam riwayat shahih lain disebutkan jarak yang didapat sejengkal lebih dekat ke arah negeri orang-orang yang menyembah Allah.[1]
Sungguh jarak sejengkal, boleh jadi hanya menghabiskan waktu kurang dari satu detik! Namun demikian mampu mengubah takdir menjadikannya termasuk golongan orang yang dirahmati.
Dalam ilmu sains jarak berbanding lurus dengan waktu dan kecepatan. Sementara, waktu berbanding terbalik dengan kecepatan. Artinya semakin jauh jarak, semakin lama waktu yang dibutuhkan. Oleh karena itu untuk mendapatkan jarak yang panjang dengan waktu sedikit, perlu kecepatan extra.
Analogi Jarak sejengkal yang diperoleh sang pencari taubat dalam kisah, lebih pada kecepatan (kesegeraan) menunaikan niat baik untuk bertaubat. Andai lelaki tersebut tidak bergegas menuju negeri mayoritas orang yang menyembah Allah, niscaya jarak sejengkal tak akan pernah diperolehnya.
Imam Nawawi mengatakan “Para Ulama telah sepakat bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib. Wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, baik itu dosa kecil apalagi dosa besar.”
Jarak juga sebagai penanda kesungguhan beramal dalam mengejar taubat . Memaksimalkan kebaikan, bak jalan pembebas dari kesalahan. Walaupun ia hanya mampu memperberat timbangan kebaikan seberat butiran debu.[2]
Setiap anak Adam pasti pernah berbuat cela, kecil ataupun besar. Namun dosa bukanlah menjadi penghalang kesempatan menghantar diri menjadi lebih baik.
Selayak ulama generasi tabi’in Malik bin Dinar. Sebagai penggiat da’wah islam pertama di tanah India tahun 624 M, Malik bin Dinar berupaya bangkit dari masa lalunya yang kelam. Momentum sinyal teguran dan hidayah dari Allah segera direngkuh dengan pertaubatan. Hingga di akhir hayat, khalayak mengenalnya sebagai ulama wara’ dan diyakini sebagai waliyullah bukan pemabuk.
Mahasuci Allah, yang tak terbatas kasih sayang-Nya. Membuka ruang pertaubatan bagi hamba yang mau menghampiri-Nya sambil berbenah diri.
Tak ada kata terlambat, pintu ampunan selalu terbuka. Selama matahari belum terbit dari tempat tenggelamnya. Selama ruh belum beranjak pergi melalui kerongkongannya. Dan selama dunia belum berhenti berputar dari porosnya.Masalahnya, kita tak diberi pengetahuan kapan semua itu menghampiri. Hal ghaib, kapanpun bisa datang.
Dia Yang Maha Pengampun, menutupi segala kemurkaan dengan cinta-Nya. Memberi harap bagi setiap hamba, hingga menjauh dari keputusasaan.
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.” [HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata: Hadist Hasan]
Referensi:
Nawawi, Imam, Tarjamah Riyadhus Shalihin, 2004, Surabaya, Duta Ilmu.
Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, 2000, Jakarta, Rabbani Press.