
Wanita termangu dalam mihrabnya. Keresahan hadir membelenggu, tatkala utusan Allah mendatangi. Berkabar Jibril akan titah Tuhan, bahwa wanita itu akan diberkahi seorang putra. Bagaimana mungkin? Batin berkeluh, ia masih suci. Selama hidup terjaga diri dari pandangan apalagi jamahan lelaki.
“ Maryam berkata: ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!’” (Qs. Maryam: 20)
“ Jibril berkata: ‘Demikianlah’. Rabbmu berfirman: ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.’” (QS. Maryam:21)
Maryam binti Imran lahir terhormat, dari kedua orang tua shalih . Bersambung nasab dengan Nabi Daud dan diasuh langsung oleh Nabi Zakaria, pamannya, dalam mihrab Masjid Al Aqsha.
Sungguh apa rasanya, jika Maryam adalah kita. Pukulan sangat berat, mengoyak-ngoyak jiwa, sakit. Kesucian yang terjaga seolah sirna, berganti stigma mencoreng. Menggores luka di relung hati terdalam.
Maryam hanya bisa berserah, bersandar pada perintah Ilahi. Menjaga prasangka tetap dalam kebaikan. Sekuat daya, menepis godaan nafsu menjerumuskan hidup dalam keputusasaan.
Menyingkir Maryam menjauhi kaumnya ke arah timur, menuju Bethlehem dekat Baitul Maqdis,Yerusalem, Palestina. Membesarkan janin dalam kepayahan fisik dan mental, sampai waktu buah hati terlahir.(Republika Online, 2024)
Boleh jadi kita pernah ada pada titik terendah dalam hidup. Nelangsa, seolah nasib tak berpihak pada kemujuran. Rentetan ujian seolah tak jemu bersua. Mengiringi detik demi detik setiap tarikan nafasnya.
Ragam ujian bisa berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Semua merupakan sunatullah berlaku pada kehidupan manusia.(Ahmad Kusyairi Suhail, Tafsir Keluarga, 2016)
Namun demikian, seringnya kita tak pernah siap ketika ujian menghampiri. Sesak dada, terhimpit batu masalah yang tak kunjung usai. Sementara, jalan seakan buntu untuk sebuah penyelesaian. Beban kita mungkin berat dari persepsi kita. Hingga terkadang lupa ujian yang lain bobotnya jauh lebih berat. Seperti layaknya Maryam.
“ Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. “Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.”(QS. Maryam: 27- 28).
Maryam hanya diam, pantang bicara atas apapun yang dicerca kaumnya. Hingga pada puncak kepahitan rasa. Dimana jiwa tertusuk kata umpatan. Maryam hanya menunjuk ke arah jabang bayi dalam buaian, tak tahu harus berbuat apa. Karena bicara pun bukan lagi solusi membungkam fitnah yang mendera.
Tanpa disangka bayi berbicara, Allah turun tangan, membela hamba suci ketika ikhtiar sudah diambang batasnya. Diangkat derajat Maryam, sebagai wanita terhormat yang melahirkan anak kelak sebagai Nabi Allah, Isa AS.
“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.” (QS. Maryam: 30)
Titik nadir hamba, kondisi dimana manusia berada pada titik keterpurukan, membuka prespektif. Masalah datang, sesuai dengan kekuatan diri untuk menghadapi. Berjibaku dengan masalah dari waktu ke waktu adalah proses pematangan pendewasaan diri. Membentuk ketangguhan modal hidup pada lembaran selanjutnya.
Titik nadir hamba, menghadirkan harapan. Kalau pun pada akhirnya manusia tak sanggup atas masalah yang menimpa. Allah sebagai penyelesai, turut campur. Melalui celah – celah yang tak terfikirkan bahkan kadang diluar nalar manusia.
Kita memang bukan Maryam, untuk disandingpun terlampau jauh tingkatannya. Tapi Maryam dan kita punya Allah yang sama, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kasih sayang-Nya tak bertepi, menghantar pada satu keyakinan. Tak mungkin Allah mendzalimi dan menelantarkan hamba-Nya dalam kesulitan berkepanjangan. Tinggal bagaimana, cara mendekat hamba pada-Nya, penentu pertolongan hadir cepat atau lambat.
” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286).